Kecoak Dewasa

Sayyidatul Imamah
Chapter #2

2

Menurut Si Kepala Sekolah, semuanya dimulai ketika pertama kali bumi dibentuk dan menghadirkan salah satu spesies yang nantinya akan menguasai bumi. Namun, itu terlalu jauh dan akan sangat melelahkan untuk diurutkan.

Jadi, Si Kepala Sekolah memilih saat segalanya sedang ricuh pada tahun 1998. Saat dia berumur 13 tahun dan telah yatim piatu—Ayahnya tidak pernah kembali setelah diseret oleh orang berseragam dan ibunya meninggal karena sakit-sakitan.

Tetangganya menyiapkan segala pakaian dan kebutuhan makanannya dengan terburu-buru. “Kamu harus keluar dari sini, mumpung semuanya masih kacau.”

Tetangganya adalah kakek tua yang badannya masih terlihat kekar dan kuat, meskipun uban sudah menguasai seluruh kepalanya. Si Kepala Sekolah kecil mengikuti Si Kakek Tua berjalan mengendap melewati hutan-hutan, menyusuri sungai, dan akhirnya sampai bersama segerombolan orang dewasa yang juga membawa tas-tas besar. Dari situ, Si Kakek Tua meninggalkan Si Kepala Sekolah tanpa mengatakan apa-apa. Sebelumnya, Si Kepala Sekolah sudah diberitahu kalau dia akan pergi ke rumah kerabatnya di Bandung. Si Kepala Sekolah tidak pernah tahu kalau dia mempunyai kerabat di luar kota, Si Kakek Tua itu memberitahu kalau Ayahnya tidak akur dengan kerabatnya itu.

Dia mengikuti gerombolan itu menyusuri sungai sampai terlihat beberapa perahu, lalu mereka menaiki perahu itu dalam kegelapan malam. Tidak ada yang bersuara sejak berangkat. Si Kepala Sekolah adalah anggota termuda dalam kelompok itu, jadi semua orang sudah terbiasa dengan keheningan.

Pada saat dia mengira semua orang sudah tertidur, dia menangis dalam diam—sama seperti cara ibunya menangis. Dia mengingat bagaimana ibunya memeluknya dengan tangan ringkih dan suara serak karena dimakan kesedihan. “Ayahmu orang baik, terus ingat seperti itu,” pesan Ibunya sebelum meninggal. “Semua orang di desa ini baik, kalau diperlakukan dengan baik.”

Saat tiba di Bandung, Si Kepala Sekolah bersama dua orang dewasa lainnya menyusuri jalan-jalan kecil yang menurutnya terlihat luar biasa. Dia terus-menerus mengamati bangunan-bangunan yang terbuat dari semen, jalanan mulus, serta kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari. Di Desa Serren, dia tidak akan pernah melihat semua jenis bangunan ini. Desanya seperti bergabung dengan hutan, melebur dalam kesunyian yang kadang disela suara tembakan.

Akhirnya, Si Kepala Sekolah bertemu kerabatnya yang menyambutnya dengan hangat. Rumah mereka tidak lebih besar dari rumahnya di desa, tetapi tidak ada dinding bolong, atap bocor, atau kakus sederhana yang hanya terbuat dari lubang di tanah. Dia tidur di lantai beralaskan kasur lipat karena keluarga kerabatnya terdiri dari lima orang, semua kamar sudah ditempati. Si Kepala Sekolah tetap merasa bersyukur.

Sejak malam ketika dia berada di rumah itu, dia telah mengubah hidupnya sendiri. Setelah Si Tiran lengser dari kedudukannya dan keadaan Indonesia sudah lumayan tenang, kerabat Si Kepala Sekolah mendaftarkannya ke sekolah dasar. Dia memang terlambat masuk sekolah, tetapi dia cepat mengejar ketertinggalan karena sudah sejak lama dia belajar membaca dari Ayahnya.

Ayahnya selalu membawakannya satu buku yang entah diambil dari mana, dia membacakan lalu mengajarkan Si Kepala Sekolah berbagai macam hal. Ayahnya juga mengajarkan hitung-hitungan dasar dan pengetahuan lainnya. Suatu kali, ketika dia membantu Ayahnya menyadap karet di hutan, Si Kepala Sekolah mendengar kata-kata yang akan selalu diingatnya. “Kamu harus tahu membaca agar tidak dibodoh-bodohi negara. Kalau ada pemilu baca dulu nama calonnya, kalau ada orang yang datang bawa-bawa surat, baca dulu isinya. Jangan mati dalam keadaan tidak tahu apa-apa, itu hina.”

Si Kepala Sekolah terus belajar dengan rajin tanpa memikirkan untuk bermain-main. Dia sering bertanya di kelas, mengerjakan pekerjaan rumah, membantu kerabatnya berjualan, terkadang memotong rumput di rumah orang-orang asing agar dia punya uang tambahan, seringkali dia datang menawarkan jasa mencuci baju kepada orang-orang. Sebagian uang yang dia dapatkan, dia tabung. Sebagian lainnya dia serahkan pada kerabatnya sebagai biaya dia tinggal di sana.

“Ayahmu akan bangga padamu,” kata kerabatnya pada suatu malam. “Dia keras kepala. Dia bisa tinggal di kota ini dan mati bahagia, tapi dia malah mengikuti Ibumu dan mati sebagai pengkhianat.”

Lihat selengkapnya