Kecoak Dewasa

Sayyidatul Imamah
Chapter #4

4

Kecoak pulang ke rumah berdinding batu kapur putih setelah berlama-lama bermain dengan teman-temannya. Ketika sampai di rumah, dia menyesali keputusannya untuk pulang.

Dia melihat Ayahnya memukul Ibunya dengan sabuk di ruang tamu, Kecoak berusaha menghentikannya, tetapi Ayahnya terlalu kuat untuk dihentikan. Setelah Ayahnya selesai memukul mereka berdua—membuat kepala Kecoak membentur ujung meja dan bibir Ibunya berdarah—Ayahnya berbisik, “Kita akan pindah.”

Begitu sederhana. Seharusnya hal itu dibicarakan baik-baik, tetapi Ibu pasti menolak. Ibu selalu mengundang Ayah untuk memukulinya, seolah jika Ibu harus mati, maka harus mati karena kekejaman Ayah. Terkadang Kecoak tidak mau ikut campur urusan orang tuanya karena pada akhirnya dia akan mendapat getahnya juga. Lebih sering Kecoak menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah agar tidak perlu tahu semua urusan itu. Namun, jika sudah melihat Ibunya dipukuli, Kecoak tidak bisa diam.

Malam itu, Ibu Kecoak berulah lagi. Dia duduk di atas kasur tanpa mau bergerak padahal Ayah Kecoak sudah menyuruh untuk berkemas. “Cepat!” teriak Ayah Kecoak. Ibu Kecoak memalingkan muka tanpa ada niat untuk bergerak.

Kecoak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Ayahnya akan menggunakan kekerasan hingga akhirnya mereka bisa naik mobil pick up dengan barang-barang yang mereka miliki. Bahkan saat di mobil pun, Ibu hanya menunduk di balik kerudungnya yang kotor, sedangkan Kecoak memandang rumahnya serta lapangan tempat dia bermain dengan teman-temannya untuk terakhir kalinya.

Mereka sampai di desa itu pada pagi hari ketika orang desa mau pergi ke sawah. Banyak orang menyapa dan memandang mobil itu. Tidak ada satu pun dari keluarga itu yang membalas sapaan. Kecoak sibuk menjaga tasnya yang berisi baju serta kelereng. Dia mungkin bisa menemukan teman baru di desa ini, tetapi pada akhirnya dia mungkin akan pergi lagi. Sangat sulit menjadi anak dari Ayahnya. Berbagai macam hal bisa terjadi dan selalu dadakan, seolah Kecoak tidak punya suara dan pilihan akan hidupnya.

Rumah itu kecil dan bobrok, dindingnya sudah disemen oleh tanah merah dan langit-langitnya rendah. Ibu Kecoak mulai mengomel tentang betapa bodohnya mereka karena pindah ke tempat kumuh seperti ini. “Rumah kita yang dulu lebih baik.”

Ayah Kecoak belum mau menanggapi, tetapi dia mungkin sudah memiliki niatan untuk menempeleng istrinya sebentar lagi kalau perempuan itu tidak mau diam. Kecoak masuk ke kamarnya yang sudah diberitahukan oleh ayahnya. Tidak ada kasur.

Ketika dia bertanya apakah dia akan mendapat kasur pada Ayahnya, dia mendapat tamparan di pipi. Yang artinya, tidak. Kali ini dia tidak akan mendapat kasur.

Malam itu, Kecoak tidur di atas semen dingin sambil memeluk tasnya yang berharga. Dulu, dia pasti menangis. Sekarang, dia sudah terbiasa untuk hanya bersedih.

Lihat selengkapnya