Kecoak Dewasa

Sayyidatul Imamah
Chapter #6

6

Kepala Sekolah memikirkan ucapan Kecoak dan menurunkan foto-foto itu pada sore harinya. Ketika menatap mata presiden yang terpenjara dalam foto itu, Kepala Sekolah langsung bergidik. Dia ingat segala darah dan teriakan yang disaksikannya, dan sulit dipercaya bahwa lelaki di dalam foto itulah penyebabnya.

Dia menaruh foto-foto itu di sudut ruangan kepala sekolah.

Saat keluar, dia melihat seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian yang sepertinya berasal dari zaman penjajahan Belanda—sarung bercorak burung dan kebaya—berdiri sambil menyilangkan lengan di dada.

“Ini Sekolah Dasar Serren?” tanya perempuan itu.

“Benar.” Si Kepala Sekolah mendekati perempuan itu dan memperkenalkan diri. “Saya Kepala Sekolah.”

“Lalat,” jawab perempuan itu.

Lalat menyentuh telinganya sambil memandang Si Kepal Sekolah. “Saya mau daftar menjadi guru, bisa?”

Si Kepala Sekolah terkejut, tetapi dia langsung menutupinya dengan senyuman. “Tentu bisa asalkan sesuai persyaratan,” katanya. “Mari masuk.”

Hari itu adalah hari terpanjang yang pernah dialami Lalat dan dia telah memutuskan untuk menetap di desa aneh itu. Lalat sangat lega ketika akhirnya bisa menjadi apa yang diinginkannya.

***

Anjing itu kejang-kejang.

Aliran darah yang keluar dari perutnya membuat tanah di sekitarnya menjadi kemerahan. Lalat menutup mulutnya untuk menahan tangis.

“Kenapa kamu tembak anjing itu?” Suara Lalat tidak terdengar cempreng seperti biasanya, hari ini suaranya terdengar seperti dengungan.

Lelaki di sampingnya—yang masih mengacungkan senapan ke arah Si Anjing—memelototinya. “Dia anjing!”

“Anjing juga mau hidup!”

Lelaki itu menurunkan senapan. “Najis, goblok!”

Lalat menatap kakaknya, air mata sudah mengaliri kedua pipinya meskipun sudah ditahan sejak tadi. Dia ingin mengatakan tentang hak makhluk hidup untuk hidup, karena anjing tetaplah makhluk hidup. Dia ingin mengatakan tentang kesakitan yang mungkin dirasakan Si Anjing, lalu berharap kakaknya bisa merasakannya juga. Namun, dia malah kembali menatap Si Anjing.

Mata anjing itu berkaca-kaca, mulutnya mengeluarkan air liur dan suara melengking. Anjing itu kembali kejang-kejang.

Lalat mengusap air matanya. “Tembak lagi,” katanya.

“Apa?”

“Tembak lagi anjingnya!”

Kakak Lalat kembali mengacungkan senapan. Beberapa saat kemudian, terdengar tembakan.

Namun, meleset.

Tembakan kedua mengenai leher Si Anjing, tetapi anjing itu masih hidup. Lalat tetap menyuruh kakaknya menembak. Akhirnya, tembakan ketiga, anjing itu tidak bergerak. Mati dengan mata terbuka dan tiga lubang peluru di tubuhnya.

“Ngapain nangisin anjing, goblok? Udah diem.”

Tepat pada saat kakaknya mengatakan itu, mereka melihat tiga anak anjing berlarian ke arah anjing yang mereka tembak.

Tiga anak anjing itu menjilat-jilat tubuh Ibunya sambil mendesis ke arah mereka.

Kali ini, bukan hanya Lalat yang menangis, tetapi juga kakaknya.

***

Lihat selengkapnya