Matahari meredup dan lalat-lalat beterbangan. Aku tidak terlalu memperhatikannya, hanya menangkap suasana kian suram dan dengung lalat-lalat menjejali lubang telinga, seperti penuh dengan riuh rendah suara yang aku pikir seharusnya lalat-lalat itu yang lebih merasa terganggu karena berasal dari sayap-sayap di punggung mereka. Ah, tapi apa peduliku dengan mereka? Jikapun itu yang mesti menjadi alasan untuk mengibas mereka pergi, aku tetap tidak bisa. Waktuku sangatlah sempit. Aku harus cepat sebelum anjing-anjing komplek itu datang.
Sebagian lalat menggerayangi tanganku. Besar-besar dan gendut-gendut. Mungkin seharusnya aku tangkapi lalat-lalat itu dan memakannya, tapi aku tahu itu semustahil menggenggam air. Mereka cukup gesit dan tanganku tak segesit dulu. Lagipula tanganku tengah sibuk.
Aku memutar-mutar tulang ayam sisa, menggeligiti seraya berharap ada daging yang tersangkut gigi. Untung-untung kalau ada lezat yang tersaring rasa. Tapi, ada nutrisi yang tertelan saja aku cukup bersyukur. Aku tidak terlalu rewel soal makanan. Aku tidak pernah bisa rewel.
Lalu aku dengar suara gonggongan.
Cepat-cepat aku raup isi kotak nasi sisa itu tanpa sempat melihat apa yang aku ambil. Aku ambil semampu kapasitas sebelah tangan karena tangan yang lain aku gunakan berpegangan saat melompat ke pohon terdekat dan memanjat. Secepat mungkin. Setinggi mungkin.
Anjing-anjing komplek itu tiba, sempat menyalak-nyalak ke arahku, seolah tidak sudi aku terlihat oleh mereka. Padahal ….
Padahal tempat sampah itu khusus diperuntukkan golongan sejenisku! Lihat saja posternya!
“Dilarang keras buang sampah di sini, kecuali monyet!”
Secara implisit, tempat sampah itu adalah milikku, bukan? Bukan anjing-anjing itu! Tapi, aku cukup sadar. Sebesar dan sekuat apapun legalitasku akan klaim tempat sampah itu, aku hanya sendiri, sementara mereka banyak (bertiga lebih tepatnya) dan bertaring. Yah, semakin besar taringnya, semakin besar juga peluang berkuasa. Brengsek memang, tapi kenyataan.
Anjing-anjing itu tampak beringas, sebelum puas memastikan aku tidak akan berani turun. Aku sendiri tidak terlalu peduli sebenarnya. Aku sudah dapatkan jatahku, biarlah mereka dapatkan jatah mereka. Setelah melihatku diam di puncak pohon, mereka mulai mengendus tempat sampah, mereka mulai menggali dan memulung apa yang tersisa di tempat sampah. Aku sendiri memeriksa apa yang berhasil aku ambil. Ternyata hanya kertas nasi dan potongan daun kol dalam plastik berperekat. Aku buka perekatnya dan menggigitinya hingga habis. Matahari kian redup tapi belum gelap.
Sempat aku dengar gemuruh geram dari bawah sana. Salah satu anjing menggeram pada temannya sendiri, mengklaim pada temuan yang sepertinya cukup berharga baginya. Tolol juga sebenarnya. Kalau aku jadi dia, aku akan diam saja, atau malah diam-diam membawanya kabur. Menggeram seperti itu malah menarik perhatian dua temannya. Atau aku salah? Dia menggeram sebenarnya memanggil temannya dan berniat berbagi? Ah, tidak, aku tidak keliru.
Aku lihat dua temannya mendekat, dan geramnya makin menggemuruh. Ketika salah satu temannya telah dekat, dia menyalak sambil menghentakkan mulutnya, mengancam untuk menggigit. Temannya yang lain hendak menyambar tapi kalah cepat hingga kena tamparan kaki kanan si anjing. Dua temannya itu merengek dan menjauh, mencari jatahnya sendiri-sendiri.
“Dasar anjing,” celotehku tanpa disengaja, lolos dari mulutku seolah mengekor kekeh tawaku.
Si anjing sepertinya mendengarku karena dia mendongak dan menyalak.