Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #2

Kisahku sih, di Sekolah

Gelap tidak menghalangiku untuk bergerak, melompat ke pohon, beralih ke tiang jalur telekomunikasi, meniti kabel, memanjat atap dan mendarat di batang pohon jambu air. Gelap tidak menghalangi penciumanku menemukan sarapan pagi. Sarapan di pagi buta.

Suara ayam jantan membahana di bawahku. Memang di bawah pohon jambu air yang aku singgahi terdapat kandang berjeruji logam dengan seekor ayam jantan di dalamnya. Ayam jantan berjengger besar dengan surai dan bulu mengkilap tertimpa lampu neon halaman belakang rumah. Aku melihatnya dari pantulan kaca jendela. Si ayam tampak angkuh saat berkokok nyaring. Mungkin dengan berkokok seperti itu, sejenak dia bisa lupa kalau dia berada dalam kerangkeng. Tapi, aku sendiri tidak bisa angkuh dengan kebebasanku. Aku harus mencuri jambu air ini hanya sekadar untuk sarapan—tidak ada yang bisa bebas dari rasa lapar, bukan?

Tapi jika aku boleh angkuh, aku sekarang mungkin tidak terkerangkeng, tapi aku pernah menjadi peliharaan seseorang, jadi sudut pandangku sepertinya lebih utuh. Aku pernah menjadi hewan peliharaan, aku juga pernah menjadi hewan liar, jadi wawasanku sepertinya cukup valid untuk berpendapat kalau bebas itu ilusi. Seperti ayam jantan itu merasakan kebebasan sesaat di ujung kokok panjangnya, begitu pula aku yang merasa bebas di gigitan terakhir jambu air yang manis dan segar. Bebas sesaat dari rasa lapar.

Kulihat pintu rumah terbuka, dan seorang laki-laki bercelana pendek keluar. Saat itu aku sedang memutar-mutar jambu air kedua sambil menggigitinya, lalu tanpa sengaja sebutir biji jambu air terjatuh dan menarik perhatian laki-laki itu. Laki-laki itu tampak kaget dan segera mengambil galah untuk mengusirku. Aku pergi sebelum dia sempat menggunakan galah itu.

Tak lupa aku juga menyambar sebutir jambu yang lain sebelum lompat ke atap dan berlari ke puncak atap rumah yang lain. Aku berhenti lari ketika aku lihat langit mulai memerah. Aku celingak-celinguk memeriksa keadaan, sambil menggeligiti jambu air yang tinggal setengahnya. Setelah habis dan beralih ke jambu air satu lagi, pandanganku teralih ke pinggir jalan di seberang atap tempat aku bertengger. Ternyata aku sedang berada di atap sebuah ruko yang berseberangan dengan tempat sampah pinggir jalan khusus monyet itu. Posternya tampak jelas dari tempatku berada, makin jelas saat langit mulai terang.

“Dilarang keras membuang sampah di area ini, kecuali monyet!”

Aku bisa membacanya.

Ya, aku bisa membaca, karena aku pernah sekolah. Dan ya, aku monyet. Apa menurutmu aneh?

Aku sekolah bukan lewat jalur prestasi, juga bukan jalur reguler, bahkan tidak ada yang menyadari aku ikut hadir memperhatikan pelajaran di dalam kelas. Jenjang pendidikanku pun tidak menentu, kadang SD, melompat ke SMA, turun ke SMP, bahkan pernah dari SMA langsung turun ke TK dalam satu hari. Yah, bisa dibilang tergantung ke mana majikanku membawaku. Karenanya aku bisa membaca.

Mungkin tepatnya bukan membaca seperti apa yang kamu pikirkan sebagai manusia, ya? Mungkin lebih tepatnya, hanya mengira-ngira maksud dari kalimat yang kalian tuliskan lewat huruf. Implikasinya, aku tidak bisa mengeja, karena itu aku tidak bisa menulis.

Lalu, bagaimana aku bisa menuliskan cerita ini?

Yah, bagaimana, ya? Apa karena ada penulis sinting yang mencoba berempati akan nasibku bisa cukup menjelaskan hal itu? Atau tulisan ini adalah buah Artificial Intelligence yang mengkompail dan mengkonversi data yang tersebar di jagat maya menjadi narasi bersudut pandang orang pertama dengan protagonis seekor monyet? Ah, di akhir cerita nanti kamu bisa menghakimi siapa aku sebenarnya. Untuk saat ini cukup terima saja kalau aku bisa membaca kalimat, “Dilarang keras membuang sampah di area ini, kecuali monyet!” di poster itu.

Kalimat itu terpampang jelas di poster, menyertai gambar kera. Ya, kera, bukan monyet. Aku tahu karena aku bisa membedakan antara monyet dan kera. Aku pernah sekolah, ingat? Aku tahu gambar itu kera karena pada suatu pagi, aku pernah menghadiri kelas seorang guru IPA di sebuah sekolah SMA. Aku sembunyi di ventilasi udara di belakang kelas. Dari celah jeruji plastik penutup ventilasi itu aku mengintip.

Seorang guru perempuan berdiri di depan kelas, di samping papan tulis putih yang diselubungi cahaya yang terproyeksi dari sebuah benda yang menggantung di tengah atap kelas. Berkas cahaya itu membentuk gambar dua jenis primata, satu bergambar simpanse, yang lain gambar babon. 

Guru itu berkerudung dan berkacamata, tampak kecil dibandingkan rata-rata anak muridnya, tapi dari suaranya yang lantang dan jelas, sepertinya ukuran tubuh tidak menutupi wewenangnya sebagai pemimpin kawanan di dalam kelas.

“Kalian bisa sebutkan perbedaan dari dua gambar ini?”

Lihat selengkapnya