Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #3

Buka Dulu Topengmu, Monyet!

“Neng-nong-neng-gung! Neng-nong-neng-gung! Neng-nong-neng-gung!”

Irama bertalu dari besi-besi yang tersusun di samping kotak kayu mengiringi aksiku. Juga suara bonang kuningan untuk suara, “Gung!” memberiku semacam arahan transisi bagi tiap babak aksiku. Berjalan di dua tangan, pura-pura bermain reog, pura-pura cornering ala Valentino Rossi di balap motor GP dengan helm dan miniatur sepeda motor, juga akting berdaster dengan keranjang dan payung berpura-pura pergi ke pasar.

Ada beberapa anak TK yang menonton, tentu saja didampingin orang tua mereka. Ada tawa di wajah anak-anak itu, tapi sebaliknya ada cemas di wajah orang tua mereka. Kecuali satu orang tua yang aku lihat hari itu; seorang ayah dengan anak perempuan. Si ayah tampak tersenyum melihat anaknya tertawa-tawa, lalu di akhir aksiku, dia memberi anaknya selembar kertas ungu dan menyuruhnya memasukkannya ke dalam keranjang di tanganku. Anaknya itu tampak senang diberi kesempatan seperti itu.

Aku menghampirinya dan bocah perempuan itu menyimpan selembar uang itu ke dalam keranjang. Aku langsung berbalik tapi melihat majikanku membungkuk hormat pada ayah dan anak itu sebagai tanda terima kasih, aku juga segera balik badan dan membungkuk hormat, meniru majikanku. Aku rasakan tali pengikat dileherku ditarik majikanku dan aku menegakkan badan dan melihat ada orang tua lain yang mengikuti jejak ayah dan anak perempuan tadi. Aku membungkuk berkali-kali pada mereka yang menyimpan uang di keranjangku.

Uang ….

Lembaran kertas warna-warni itu … dengan angka berekor nol yang beragam jumlahnya ….

Sepertinya manusia tidak bisa lepas dari uang. Aku tidak terlalu mengerti, tapi sepertinya tugasku adalah mengumpulkannya banyak-banyak untuk majikanku. Tapi ini agak paradoks juga, maksudku, ketika aku disuruh mengambil di kawasan sekolah, aku tidak diizinkan mengambil sebanyak-banyaknya. Dia melatihku dengan lembaran uang di dalam kotak kayunya, dan memukulku setiap aku ambil lebih dari dua lembar. Kecepatanku berpikir dan bertindak juga menjadi faktor majikanku memukul atau tidak. Seingatku, aku jarang kena pukul kecuali di awal pelatihan. Sepertinya aku memang cepat mengerti. Jadi, intinya aku mesti mengumpulkan sedikit uang tapi dari banyak tempat, tanpa diketahui, tanpa disadari.

Untuk bagian “tidak disadari dan tidak diketahui”, majikanku melatihku dengan permainan petak umpet. Awalnya aku disuruh memperhatikan anak-anak bermain petak umpet di gang-gang sempit kawasan pemukiman manusia yang padat. Kawasan tempat tinggal majikanku. Aku ditempatkannya di ruang lantai dua rumahnya, dalam kurungan kayu, menghadap ke sebuah jendela. Jendela dengan pemandangan sudut pertigaan gang, dengan tiang listrik di salah satu sudut pertigaan.

Aku ingat setelah menempatkanku di kurungan, majikanku terlihat di sudut pertigaan gang setelah bersama beberapa bocah tetangganya—sebaya anak SD awal, sepertinya. Aku lihat dia menunjukkan selembar uang pada anak-anak itu dan menempatkannya ke dalam amlop kecil. Dia tempelkan amplop itu ke tiang listrik. Lalu majikanku berdiri menghadap tiang listrik itu sambil menelungkupkan kepalanya. Kulihat bocah-bocah itu bertebaran cepat menjauhinya. Selang beberapa saat, majikanku berhenti menelungkup dan mulai mencari bocah-bocah yang bertebaran itu.

Beberapa kali aku lihat ada bocah yang mengendap-endap menghampiri amplop di tiang listrik itu, tapi selalu ketahuan oleh majikanku. Tidak ada yang berhasil mengambil amplop itu sampai permainan berakhir. Permainan berakhir ditandai beberapa bocah laki-laki dipanggil, bahkan ada yang dijewer ibu mereka. Ada juga seorang ibu yang memarahi majikanku seolah melarangnya main dengan anaknya—aku tidak tahu pasti, karena terlalu jauh untuk bisa aku dengar. Majikanku hanya mengangguk-angguk minta maaf sambil tersenyum sungkan. Senyum dan sungkan itu mendadak hilang saat membalikkan badan dan berjalan.

Majikanku menemuiku. Masih absen dari senyum dan sungkan yang tadi aku lihat. Dia membuka pintu kandangku, membuka jendela, lalu menunjuk ke tiang listrik di pertigaan gang itu. Ke amplop itu lebih tepatnya.

“Ambil,” ucap majikanku datar.

Aku melangkah keluar dari kandang. Agak sungkan dan ragu, tapi kemudian setelah aku melewati jendela, aku bergerak cepat dan waspada. Tidak ada yang melihatku (selain majikanku, tentu saja, karena dari jendela itu dia terus mengawasi). Aku merayap cepat menuruni genteng, ke sudut atap yang juga menjadi salah satu sudut pertigaan gang itu. Aku terdiam sejenak dan merapatkan tubuhku ke genteng saat aku dengar bunyi kentongan gerobak baso siomay mendekat. Aku diam sampai gerobak itu lewat dan menjauh. Lalu ketika gang itu sepi, aku kembali bergerak. Aku capai sudut atap itu, melirik kiri-kanan, lalu melompat cepat ke tiang listrik, menyambar amplop itu dan melompat lagi, kembali ke sudut atap. Segera aku kembali ke majikanku di jendela lantai dua rumahnya. Aku lihat dia tersenyum puas. Dia senang melihatku kembali membawa amplop itu.

“Akang pintar! Akang memang pintar!” ucapnya sambil mengelus kepalaku, setelah menerima amplop dari tanganku. Lalu dia beri aku sebutir pisang.

Sambil aku ditempatkannya lagi di dalam kandang, aku kupas pisang itu dan melahapnya. Manis, tapi agak kesat. Aku makan sambil memperhatikan majikanku pergi. Aku ingat dia masih tersenyum saat melewati kain kusam yang menjadi tirai pengganti pintu.

Mungkin aku ingat sesi latihan itu karena satu-satunya langkah awal latihan yang berhasil, yang tidak mendapat pukulan. Tapi, bisa juga karena satu-satunya latihan yang melibatkan anak-anak tetangganya, karena sesi lainnya hanya aku dan majikanku. Sepertinya majikanku bukan orang yang dianggap baik oleh tetangganya.

Kalau diingat lagi, aku tidak terlalu mengenal siapa majikanku. Aku tidak tahu namanya. Sungguh. Mungkin karena aku tidak pernah mendengar ada yang memanggilnya. Yang pernah aku dengar hanya kata ganti, Kang, A, Mang, Jang, Pak, Om, Kak dan lainnya yang tidak memberiku petunjuk akan namanya. Kalau mengingat ini, sepertinya aku monyet yang tidak tahu terima kasih, ya?

Kalau diingat lagi, aku juga tidak tahu siapa aku sebenarnya. Tidak ingat di mana aku lahir dan siapa yang melahirkan aku. Ingatan terjauhku ke masa lalu adalah botol berisi cairan putih yang didorong masuk ke dalam mulutku oleh majikanku. Jika dia disebut orang tuaku, mungkin ada benarnya, tapi ketika aku bersamanya, aku tidak tahu apa-apa soal konsep orang tua. Yang aku tahu, dia tempatku bersimbiosis; dia beri aku makan, aku beri dia lembaran uang dari keranjang topeng monyet, juga dari “tempat lain”. Sejauh ini memang tidak ada masalah.

Lihat selengkapnya