Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #4

Kubuka Jendela, Sapa ... Pandemi

Kalau diingat lagi, aku tidak terlalu jauh meninggalkan jendela kamar tempat kandangku berada. Mungkin perasaan panik dan takut membuat waktu melarikan diri itu seperti lama dan lambat. Aku bergerak sebisa mungkin tanpa bersuara, tapi juga berusaha cepat. Ketika melihat sebuah menara dengan puncak berkubah kecil berhias bulan sabit dan bintang, aku memutuskan sembunyi di sana. Aku melihat ada celah yang bisa aku manfaatkan untuk sembunyi. Selain itu, ketinggian bisa memberi sudut pandang yang luas sehingga bisa dengan cepat mendeteksi ancaman.

Ya, aku memang berniat sembunyi di menara masjid, tapi saat itu aku tidak tahu itu menara masjid. Kalau tidak salah ingat, masjid itu terletak selang dua rumah dari rumah majikanku. Kalau mengingat cukup sering mendengar suara azan yang tidak terlalu jauh dari kandangku, sepertinya aku tidak salah. Dan kalau saja saat itu aku sadar, aku tidak akan sembunyi di menara itu, karena celah yang aku tuju adalah ruang untuk corong pengeras suara masjid. Tolol, bukan?

Memang azan Magrib telah berkumandang sebelum aku memutuskan merusak pintu kandang, tapi tentu saja corong pengeras suara masjid tidak hanya digunakan untuk azan saja. Ketika aku capai celah itu, wajahku mendadak diludahi suara kencang dari lingkaran besar yang aku pikir mulut genderuwo. Aku terpental saking kagetnya.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un! Innalillahi wa inna ilaihi roji’un! Innalillahi wa inna ilaihi roji’un! Telah meninggal dunia, Bapak—”

Aku tidak ingat bapak siapa yang meninggal waktu itu. Yang aku ingat aku masih beruntung tidak terjatuh ke tanah atau ke genteng masjid. Aku terjatuh menimpa menara air masjid yang jaraknya tidak berakibat fatal. Aku tidak terluka, hanya telingaku saja yang mendengung. Mungkin yang terluka hanya harga diriku saja—terluka oleh kebodohanku.

Dari atas menara air itu aku beralih ke sisi yang tersembunyi, sisi terjauh dari barisan keran air di bawah menara air, juga jauh dari barisan jendela masjid. Aku sempat mengintip, ada orang di balik jendela masjid.

"Udah ada arahan dari kecamatan, Kang?"

"Cuma soal social distancing sama pake masker. Detilnya nanti ada surat edaran."

"Gak nyangka kita juga bakal kena, ya? Jangan-jangan hoaks, Kang!"

"Hoaks atau bukan, nyatanya banyak warga kita yang meninggal, `kan?"

"Iya, sih."

Aku dengar samar percakapan orang di dalam masjid itu. Cukup dekat sebenarnya, tapi terdengar samar karena telingaku masih sedikit mendengung. Lalu aku dengar suara orang lain yang memasuki masjid. Terdengar tergopoh-gopoh.

"Kang! Bah Romli oge maot! (Kang! Bah Romli juga mati!) Di Rumah Sakit Cicendo!"

"Eh, bukannya Cicendo khusus rumah sakit mata?"

"Teuing atuh! Corona na beunang mata meureun (Gak tau! Corona-nya kena mata, mungkin)."

"Tong ngaaya-aya (Jangan mengada-ada) .... Tuh tingali! WA ti si Sidik! Lain di Cicendo, blegug! (Tuh lihat! WA dari si Sidik! Bukan di Cicendo, tolol!) Tapi di jalan Cicendo. OTW Rumah Sakit Kebon Jati!"

Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi tak lama kemudian aku dengar lagi pengeras suara masjid berbunyi. Tanpa aku sadari kedua tanganku menutup telinga. Sepertinya aku trauma mendengar bunyi pengeras suara masjid.

Ketika pengumuman selesai, aku lepas tanganku dari telinga dan mendengar lagi keributan di dalam masjid, atau lebih tepatnya saat orang-orang di dalam masjid itu hendak keluar. Sepertinya di teras depan masjid. Aku mendengarnya tidak terlalu jelas karena sudah berjarak, tapi aku menangkap kata "pencuri" di keributan itu. Sekarang kalau aku pikir lagi, mungkin keributan itu sebenarnya membahas aku yang disangka maling di rumah majikanku. Mungkin. Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu pasti—dan aku ingat—kerongkonganku terasa kering.

Setelah orang-orang itu pergi, aku menuruni menara air, menghampiri barisan keran air untuk minum. Aku putar salah satu keran, dan menciduk airnya ke mulutku dengan satu tangan. Hausku hilang, juga aku pun sedikit merasa tenang. Hanya sedikit saja, cukup untuk menata pikiran dan memancing benakku bertanya-tanya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana majikanku?

Lihat selengkapnya