Setelah mencabuti sayap laron dan memakannya, ingatanku rasanya tumpang tindih. Maksudku, kronologi yang aku ingat seperti bercabang, entah yang mana lebih dulu, antara menghabiskan malam gerimis nan dingin itu di atas plafon sebuah rumah atau sembunyi di beduk rusak di halaman belakang sebuah masjid yang jauh lebih besar dari masjid dekat rumah majikanku. Aku tidak ingat pasti mana yang lebih dulu terjadi, tapi aku ingat ketika pagi tiba dan hari mulai terang, aku temukan diriku berada di lingkungan yang berbeda dari lingkungan rumah majikanku. Lingkungan yang lebih terawat dan tidak kumuh. Aku ingat pagi itu aku sarapan sepotong tempe mentah, mencuri dari keranjang di sudut jalan komplek perumahan. Keranjang itu berlabel “Sudut Berbagi”.
Hmmm, kalau begitu sebenarnya aku tidak mencuri, `kan, ya? Hanya tidak merasa sungkan saja.
Aku ingat, aku berniat memantau sudut jalan itu untuk mengamankan sumber panganku, tapi kawasan itu minim sekali tempat sembunyi. Bagaimanapun aku tidak ingin terlihat. Aku memang dididik majikanku tidak terlihat sebagai dasar pembawaanku. Jadi, memantau “sudut berbagi” itu tidak menjadi prioritasku. Selain itu, aku yakin masih ada “sudut berbagi” lain yang belum aku tahu dan aku sebaiknya mencari tahu. Semakin banyak sumber makananku semakin baik, bukan?
Sambil tetap waspada dan berhati-hati, aku mulai mengembara seperti angin. Samar dan tidak terdeteksi …. Maunya, sih.
Bagaimanapun, majikanku yang lebih hebat soal menjadikanku tidak terdeteksi. Setiap kami keluar rumah untuk main topeng monyet atau menjalankan misi, dia menyimpanku ke dalam tas punggung. Dia selalu mengatupkan telunjuknya pada bibir setiap hendak menarik resleting tasnya, menyuruhku tetap diam selama di dalam tas. Aku turuti hingga dia membuka tasnya kembali. Awalnya aku tidak mengerti, dan aku tidak ambil pusing soal alasannya. Tapi, seiring waktu aku sadar kalau kehadiranku jangan sampai disadari di lingkungan rumahnya, kecuali dia sendiri. Alasannya cukup jelas aku kira; misi yang aku emban dari majikanku bukanlah aksi yang layak diketahui banyak orang—hanya untuk majikanku seorang.
Majikanku juga sepertinya tidak ingin diketahui kalau dia menjadi tukang topeng monyet oleh lingkungannya. Aku tidak tahu kenapa dan aku tidak akan pernah tahu. Yang aku tahu, setiap dia membawaku keluar rumah, dia mengeluarkan aku dari tas punggungnya selalu di tempat yang sama. Aku tidak tahu letaknya, tapi aku tahu lokasinya banyak pepohonan rindang, di pinggir jalan, di dekat kios rokok dan kopi, bersebelahan dengan gerobak gorengan. Majikanku selalu bicara dengan pemilik kios, untuk kemudian dia mendapatkan kotak kayu perlengkapan topeng monyetnya dari dalam kios itu.
“Kenapa enggak dibawa pulang saja?” tanya si pemilik kios pada suatu masa.
“Repot, Mang. Rumahnya lumayan jauh. Maaf kalau saya merepotkan,” jawab majikanku sambil garuk-garuk belakang kepala. Aku ingat aku menirunya dan memancing senyum lawan bicara majikanku.
“Enggak repot, sih. Cuma kalau-kalau Mamang tutup, kamu gak bisa kerja, `kan?”
“Ah, tidak apa-apa, Mang. Kalau perlu tutup, tutup saja. Tapi kalau saya titip ini sama Mamang malah bikin Mamang merasa perlu selalu buka, malah itu membuka pintu rejeki Mamang makin lebar, ya, `kan?”
“Bener sih. Mamang cuma mau bilang kalau nanti misal Mamang sakit dan perlu tutup. Gimana tuh?”
“Yah, sebelum Mamang sakit, saya doakan Mamang selalu sehat.”
Mamang pemilik kios itu tertawa. “Kamu bisa aja jawabnya. Amin, deh. Sekarang mau ngopi dulu?”
“Air botol aja, Mang. Sama roti buat si Akang,” jawab majikanku sambil mengeluarkan sejumlah uang. Aku ingat, saat majikanku melenggang menjauhi kios itu, aku bertengger di bahunya sambil makan roti.