Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #6

Separuh Napasku Terbang

Aku perkirakan kecepatan truk itu 100 Km per jam. Sangat cepat! Melaju di atas jembatan layang yang lengang. Tidak ada hambatan. Tidak ada yang menghalangi. Mustahil aku selamat kalau melompat langsung. Namun aku tidak kehabisan akal.

Kain terpal yang menutupi bak sampah truk itu terikat ke sisi bak dalam beberapa ruas jarak—tiap delapan ruas jarak kalau tidak salah ingat. Ikatannya pun tidak terlalu kuat. Hanya simpul sederhana yang sepertinya supaya mudah dilepas. Aku melepas ikatan itu dari sisi paling belakang, berurutan hingga paling depan. Tentu saja kain terpal itu berkibar seiring laju truk. Semakin berkibar setiap aku lepas ikatan itu. Dan ketika aku lepas ikatan terakhir, kain itu terbang. Napasku tersekat cepat saat hentakan kain terpal itu ikut membawaku terbang.

Aku pegang kuat tali terakhir yang aku lepas, juga tangan lain menggapai sisi kain terpal. Tidak hanya itu, kedua kakiku menggapai sisi lain kain terpal. Aku goyang-goyangkan badanku untuk mengendalikan arah jatuh kain terpal itu. Dan ... apa kamu percaya semua itu?

Maaf, maaf, tapi aku mesti bertanya, apa kamu percaya semua itu?

Ya, memang aku bohong, tapi sejauh mana kira-kira ceritaku itu dapat dipercaya? Mungkin seharusnya dari awal sejak aku mengatakan niatku turun pada kecepatan tinggi laju truk itu, bukan? Maksudku, aku pernah bilang aku monyet pengecut, bukan? Meski memang ada dorongan hati untuk segera turun sebelum kehilangan sensasi kenangan akan lokasi yang aku kenal bersama majikanku. Tapi aku terlalu penakut dan mesti rela sensasi kenangan itu memudar berganti sesak tak rela di dada. Beraksi ala agen mata-mata rahasia hanya harapan kosong yang mustahil aku lakukan.

Lalu, setelah cukup lama menelan rasa sesak, aku rasakan laju truk melambat. Aku sempat mengintip dan sepertinya kami sampai pada persimpangan. Truk berhenti. Lampu merah telah menghadangnya.

"Bet eureun sagala! Torobos weh, Jim! (Pake berhenti segala! Terobos aja, Jim!)"

Aku dengar suara laki-laki dari kabin depan truk itu. Cukup jelas karena jendelanya terbuka.

“Pegal kaki lah, Om! Injak gas terus! Istirahat lah dikit mumpung lampu merah.”

Aku dengar jawaban dari sisi kemudi dengan logat yang tidak biasa aku dengar. Tapi aku tidak peduli dengan isi percakapan itu. Yang aku peduli hanya berhentinya truk itu telah memberiku kesempatan untuk turun. Aku turun dari belakang bak truk dan melompat ke aspal jalan. Aku turun persis sebelum truk itu hendak kembali melaju. Aku segera lari ke pinggir jalan, sembunyi di semak dekat bangunan kecil dua tingkat bercat putih-biru, merapat pada tiang lampu lalu lintas. Dari sana aku menyaksikan truk sampah itu kembali melaju. Melaju melintasi persimpangan jalan yang sepi. Lampu merah masih menyala saat itu.

Lalu, sayup-sayup aku dengar suara sirine ambulan, terdengar mendekat dan kemudian menjauh. Aku sendiri tidak melihat ambulan tersebut. Dari arah suara datang dan hilangnya, aku tahu ambulan itu melintas di seberang jalan, terhalang pembatas jalan. Meski hanya terdengar suaranya, aku bisa mengira arah ambulan itu; berlawanan dengan arah truk sampah tadi. Arah itu juga yang hendak aku tuju. Aku mesti menyeberang jalan terlebih dahulu sebelum menuju arah itu, karena semak tempatku sembunyi ternyata diapit dua ruas jalan. Tentu aku berniat menyeberang jalan dengan tingkat kewaspadaan tinggi, tapi ….

“Bau apa ini?!”

Aku dengar suara di bangunan biru-putih di belakangku.

“Tadi truk sampah lewat,” jawab suara lain.

“Tapi kok keciumnya deket.”

Panik! Aku keluar dari semak dan langsung menyeberang jalan. Aku tidak lagi peduli soal waspada! Yang penting segera menjauh! Lari melintasi jalan tanpa menoleh.

Syukurlah jalanan sepi! Syukurlah tidak ada keributan! Syukurlah tidak ada yang berteriak, “Itu monyet!”

Di seberang jalan aku lompati dan lewati pagar bangunan kecil bertuliskan “Kantor Linmas dan PKK”. Terus berlari mencapai kumpulan pohon cemara dan pohon palem. Naluriah, aku menaiki pohon itu, melompat ke pohon lain, mencapai papan reklame sebelum mencapai atap bangunan di sebelahnya. Sejenak aku sembunyi di atap itu, di balik bayang-bayang tembok. Hari telah sangat terang. Matahari kian meninggi. Haus pun mulai menyerang.

Mungkin aku akan segera memikirkan cara mencari air kalau saja tidak dikagetkan suara yang berbicara kepadaku.

“Kamu bau seperti karung sampah!”

Lihat selengkapnya