Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #7

Menjadi yang Harusnya Tak Ada

Agak aneh memang. Aku tidak mengenal kucing itu. Jadi jelas tidak ada kesan yang mendalam untuk merasa kehilangan saat tidak lagi kulihat batang ekornya. Lalu? Kenapa perasaan kehilangan itu ada?

Aku sempat terdiam memikirkan perasaan itu. Tidak lagi merasa perlu melarikan diri. Aku terdiam di tepi atap beton sebuah bangunan dengan pemandangan jalan raya nan lengang di sebelah kiri. Aku melirik ke belakang, ke tempat tadi aku sempat mandi. Penampung air itu sudah tidak terlihat, terhalang bangunan lain. Jika aku merasa kehilangan, sesuatu yang hilang itu seolah tertinggal di sana, di tempat aku mandi. Tapi tentu saja bukan sebuah benda yang bisa dipegang, bukan pula kenangan manis yang menyentuh hati. Hanya ….

Entahlah ….

Saat itu, aku memang kesulitan mengenali asal perasaan itu, tapi sekarang aku cukup mengerti. Cukup mengerti kalau perasaan kehilangan itu hanya berasal dari absennya relasi antara individu yang terlalu lama diabaikan. Sejak berpisah dengan majikanku, jelas tidak ada lagi tempat aku berinteraksi. Atau mungkin lebih tepatnya, perasaan kehilangan itu adalah akibat kerinduan akan keberadaanku yang dianggap ada. Pengakuan entitas lain akan kehadiranku. Meski sekilas, kucing tadi telah menganggap monyet ini ada. Dan perasaan kehilangan pengakuan itu cukup menyiksa.

Aku ingat saat terdiam itu aku merasakan tekanan batin yang membuatku ingin menjerit-jerit, ingin meronta, sampai … sampai muncul harapan ada yang bersedia merangkulku dan mengurai tekanan itu. Tapi tentu saja itu harapan kosong! Tidak ada siapa-siapa yang bisa mengakui keberadaanku! Apalagi sampai bersedia merangkulku. Tapi perasaan tersiksa itu yang ternyata mendorongku bergerak lagi. Tidak hanya diam dan melenguh lemah. Ya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain bergerak terus. Bergerak maju!

Kembali aku ayunkan kaki dan lenganku, bergerak menuju arah matahari terbit—ah, itu terlalu berlebihan sepertinya. Kalau ruas jalan itu melintang utara-selatan, mungkin aku tidak akan memakai istilah matahari terbit—meski memang aku meminjam ungkapan itu dari kucing tadi. Intinya, aku bergerak ke arah timur, ke arah di mana aku pernah melihat pemandangan yang aku kenali saat tadi menumpang truk sampah itu—pemandangan yang memicu kenangan bersama majikanku. Arah itu juga yang dikatakan si kucing pernah melihat sejenisku yang terkurung kandang. Manapun yang lebih dulu aku temui, itu arah yang lebih dahulu aku ambil. Bagaimanapun aku mesti bergerak. Semper prorsum!

Dan aku ingat, gerak majuku mencapai perasaan merindu yang menguat cepat saat aku lihat dari kejauhan barisan pohon besar nan rindang di pinggir jalan. Barisan pohon besar yang pernah majikanku lewati sementara aku bertengger di bahunya.

Waktu itu arah langkahku agak menyerong dari yang seharusnya. Agak menjauh dari ruas jalan karena aku lebih memilih tempat yang lebih tinggi untuk aku lewati. Terutama, ketika jalan raya itu bercabang antara naik menjadi jalan layang dan turun menuju perempatan jalan. Sempat terpikir untuk menaiki jalan layang itu karena memang tempatnya lebih tinggi, tapi ruangnya terlalu terbuka dan sulit untuk sembunyi. Pilihanku tinggal ambil arah yang melebar menjauhi jalan layang, lewati atap beberapa bangunan, lalu menyusuri papan reklame untuk menyeberangi jalan. Saat menaiki papan reklame itu, aku melihat kanopi dedaunan dari barisan pohon besar. Apa yang aku lihat itu segera menjadi tujuan gerak majuku.

Tentu saja banyak jalan-jalan di Bandung yang diapit barisan pohon besar. Belum tentu yang aku tuju itu adalah bagian dari kenangan bersama majikanku. Tapi kemungkinan antara naluriah dan keberuntungan murni, aku memang menemukan kios rokok dan kopi yang biasa majikanku kunjungi.

Aku terjun dan mendarat di atap kios lalu melompat ke tanah di samping kios, tempat yang biasanya ada gerobak penjual gorengan. Tentu saja kios itu dalam keadaan tutup dan penjual gorengan itu tidak ada. Penutup bagian depan yang biasanya disangga menjadi kanopi kios sedang menutup rapat muka kios itu. Pintu kecil di samping kios pun rapat bergrendel dengan kunci gembok besar. Aku terdiam menatap kios itu. Merasakan sepi yang aneh.

Aku lupa lagi berapa lama aku terdiam. Jika lama, maka sepertinya aku mengkhianati niat awal untuk terus bergerak, tapi jika sebentar, itu juga mengkhianati perasaanku sendiri, mengkhianati kenanganku bersama majikan. Agh! Kalau diingat lagi semua perbuatanku itu paradoks! Jika aku ingin bergerak maju, kenapa juga mencari-cari majikanku?!

Tapi bagaimanapun, tidak ada gunanya berkeluh kesah sekarang. Lagi pula, saat itu aku tidak punya referensi apa-apa. Hanya seekor monyet berpikiran linear, yang kalau dilihat dari sudut pandang kategori spesiesku, aku termasuk superior. Setidaknya dalam hal wawasan.

Lihat selengkapnya