Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #8

Terlalu Manis ... Jadinya Lupa

Pecah ....

Manis ....

Sensasi yang seketika bisa membuat seekor monyet lupa akan kesedihannya–setidaknya untuk sementara. Sensasi yang sekaligus meredam rasa lapar–juga untuk sementara. Ya, buah kersen yang matang memang manis. Tidak hanya itu, sensasi pecah saat digigit memberi nuansa puas saat isi manis buahnya memancar membasahi lidah. Aku sangat ingat rasanya. Pohon yang menempel pada dinding pinggiran selokan samping sekolah itu memang lebat buahnya. 

Aku juga masih memegang selembar uang itu. Uang yang aku temukan dari laci kantin. Aku belum rela melepasnya. Sempat aku genggam dengan kakiku kalau aku perlu bergelantung untuk mencapai buah kersen yang sulit terjangkau. Aku cukup berhati-hati agar tidak kehilangan uang itu. Sepertinya aku masih berpikiran akan menyerahkan uang itu pada majikanku bila bertemu. Mungkin bisa dikatakan aku belum bisa secepatnya bergerak maju, secepatnya melepas kenangan akan majikanku. 

Tapi, itu juga tidak sepenuhnya benar. Maksudku, memang mustahil melupakan majikanku, tapi kesan tentang dia tentunya seiring waktu akan memudar. Hanya saja, jika niat menyerahkan uang kertas itu adalah ejawantah rasa hormat akan kenangan majikanku, maka rasa hormat itu hanya dibatasi dengan rasa lapar, karena untuk menutup rasa lapar di keesokan harinya, aku membelanjakan uang itu. 

Ya. Membelanjakannya. Kamu tidak salah baca. Tapi sebelum itu, aku masih bergulat dengan rasa sesak dan sedih setelah lepas dari rasa lapar di pohon kersen. Ada perasaan kosong yang menganga ketika semua buah kersen itu telah habis. Aku beranjak cepat, pergi dari pohon itu. Tidak hanya itu, aku pergi menjauh dan mengambil arah yang tidak aku kenali, menghindari arah yang menyimpan kenangan akan majikanku. 

Aku pikir cukup wajar. Mengingat sebelumnya aku berburu kenangan akan majikanku dengan harapan bisa menemukannya, tapi yang aku dapati malah sesak yang semakin meremas dada. Cukup wajar untuk kemudian berbalik arah dan berusaha menjauhi perasaan sesak itu. 

Ya, cukup wajar ….

Bahkan kalau ditilik dari sudut pandang lain, rasa hormatku bisa berubah menjadi dendam karena bagaimanapun dia menelantarkan aku. Benar, bukan?

Ya, cukup wajar ….

Lihat selengkapnya