Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #9

Abang Tukang Sawo

Selembar uang itu masih aku pegang. Aku peluk saat aku tertidur, tapi jelas bukan karena sayang. Hanya berpegangan erat pada sesuatu yang aku kenal, tapi tidak sedalam rasa sayang. Tentu saja! Karena jika ada kesempatan, dengan mudah aku melepasnya dan menukarnya untuk meredam rasa lapar.

Pagi itu memang diawali rasa lapar. Bangun di pagi buta dengan gelap yang tidak terlalu gelap. Ada lampu jalan di dekat pohon, agak di bawah tempatku berada, menjorok ke tengah jalan. Aku bangkit dan bergerak, mengikuti arah langit yang lebih terang. Uang itu masih aku pegang. Mulai kusam dan kusut.

Aku melompat dari pohon ke pohon. Sebenarnya tidak berniat mengikuti arah jalan, tapi pohon besar yang rimbun memang tunbuh di sekitar pinggir jalan itu. Sempat menjauh dari pesisir jalan karena barisan pohon berubah jenis menjadi cemara—pohon yang kurang bersahabat, menurutku. Tidak layak untuk sembunyi. Aku menghindarinya.

Lalu, ketika langit sedikit lebih terang, dari kejauhan aku melihat sekumpulan orang menghalangi jalan, berseragam coklat, bersepatu lars dan bermasker. Juga bersarung tangan dan memegang pistol. Mereka menghadang pengendara sepeda motor yang hendak lewat. Jumlah mereka tidak banyak, mengimbangi jumlah pengendara yang juga tidak banyak, malah cenderung sepi. Aku lihat ketika mereka menghadang para pengendara itu, mereka berbicara sejenak yang kemudian diikuti si pengendara memperlihatkan semacam kartu kepada petugas penghadang itu. Ada pengendara yang disuruh berputar balik, ada juga yang dibiarkan melanjutkan perjalanan—itu pun setelah ditembak keningnya oleh pistol petugas berseragam itu. Sempat ada rasa penasaran, heran melihat mereka, terlebih pada pistol itu. Tentu saja sekarang aku tahu yang dipegang petugas itu adalah thermometer, tapi waktu itu jelas aku tidak tahu, dan rasa penasaran itu cukup besar sampai aku mau menghampiri mereka. Mungkin lapar membuatku sedikit lebih berani.

Sebelum mendekat, aku menyeberang jalan terlebih dahulu, karena mereka berkumpul di sisi lain jalan. Sempat aku lihat saat menyeberang jalan, tak jauh dari tempat mereka menghadang pengendara, ada semacam tenda yang sepertinya mereka jadikan pos penjagaan.

Meski di seberang jalan itu lebih jarang pepohonan, tapi cukup banyak bangunan yang bisa jadi tempat aku sembunyi. Seperti biasa aku menyeberang lewat kabel yang melintas di atas jalan. Sampai di tiang kabel itu aku melompat ke atap sebuah bangunan yang bagian muka atap itu terdapat papan iklan produk mie instan. Dari atap ke atap aku berpindah, mendekati pos penjagaan itu. Aku sempat berhenti saat mereka menghadang sebuah mobil pick-up warna hitam dengan bak belakang tertutup terpal biru, di atas bak belakang itu juga terdapat atap berbahan kain terpal hitam. Aku berhenti karena mobil pick-up itu mengingatkanku dengan mobil sampah di pemukiman mewah.

Para petugas menyuruh mobil itu memutar arah dan aku sempat melihat wajah masygul supirnya.

Lepas mobil pick-up itu pergi, aku melihat seorang petugas datang, mengendarai sepeda motor, keluar dari gang di seberang mereka. Setelah dia parkir di depan pos, aku lihat dia membawa kantung plastik hitam yang tampak penuh. Instingku seketika bicara kalau di dalam kantung itu terdapat makanan. Aku merayap mendekat. Waspada. Jika aku beruntung, aku bisa kebagian makanan itu.

Beruntungkah aku?

Bisa iya, bisa tidak. Jika keberuntungan memiliki kadar, kadarnya pagi itu sangatlah sedikit. Aku hanya kebagian sampahnya. Tapi, untuk ukuran monyet lapar, itu terhitung beruntung. Jadi keberuntungan sepertinya tidak lepas juga dari sudut pandang, ya?

Mereka bergiliran untuk sarapan pagi. Nasi boks yang entah apa isi pastinya. Aku pikir aku bisa mendapatkan boks utuh saat mereka berganti giliran, tapi jedanya terlalu pendek dan aku akan sangat mudah terlihat dan … saat itu aku sangat ketakutan dengan pistol mereka. Bodoh memang, tapi saat itu hanya itu yang terpikir olehku—benda yang dipegang dan ditodongkan ke orang lain adalah berbahaya. Yang bisa aku lakukan hanya menunggu mereka selesai. Kulihat mereka masukan bungkus sarapan mereka kembali ke kantung plastik. Seorang petugas mengikat kantung itu dan menyimpannya di sudut luar tenda pos.  

Sambil sembunyi dan hati-hati aku mengambilnya. Tidak terlalu sulit karena tentu tidak ada yang begitu memperhatikan sampah. Aku masih hati-hati dan waspada saat mengangkatnya, melangkah mundur, lalu membawanya ke ketinggian atap sebelum berani membongkarnya.

Tidak banyak yang aku dapatkan. Tulang ayam, sepotong tempe keras dan potongan mentimun. Ada dua bungkus kerupuk saat pertama kali aku membuka kantung itu, dan kerupuk itu aku dahulukan. Tetap tidak memuaskan rasa laparku, tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Aku biarkan sampahnya di atap dan langsung pergi. Masih mengambil arah timur, tapi tidak selalu timur—hanya mengambil jalur yang aman dan yang aman sepertinya yang lebat pepohonan.

Dari atap tadi saat makan, aku sempat memperhatikan pemandangan, dan memang banyak arah yang bisa aku tuju karena banyak cakrawala yang ditumbuhi rimbun pepohonan. Saat itu sepertinya aku cukup bisa menggabungkan dua variabel itu; arah timur dan rimbun pepohonan. Tapi kemudian aku mulai memikirkan opsi untuk tidak selalu sembunyi, dan pikiran itu diawali oleh selembar uang itu.

Saat makan tadi aku pegang uang itu dengan kaki, dan hampir saja aku lepaskan saat hendak beranjak pergi. Aku alihkan uang itu ke tangan sebelum pergi. Aku masih belum bisa melepasnya, niat untuk menyerahkan ke majikanku masih ada. Sampai kemudian aku melihat mobil pick-up hitam itu terparkir di pinggir jalan. Mobil yang tadi dihadang petugas dan disuruh putar balik. Aku melihat bak belakang mobil itu tidak lagi tertutup terpal biru, memperlihatkan butiran-butiran coklat yang segera aku sangka sebagai buah. Entah buah apa.

Rasa penasaran membuatku mendekat. Aku melihat ada tulisan di belakang mobil, digantung di tiang kayu penyangga atap terpal.

“Sawo—20.000 sekilo.”

Begitu bunyi tulisannya. Aku berasumsi butiran coklat itu buah sawo tapi aku belum pernah melihat apalagi merasakannya. Aku melompat ke pohon, kemudian ke tiang listrik lalu meluncur turun, agak jauh dari mobil itu. Jelas penasaran.

Lihat selengkapnya