Satu kilo ternyata cukup berat untuk ukuran monyet. Terlebih lagi aku bawa dalam kurun waktu yang lama dan sambil melompat-lompat. Tapi seiring waktu, sekilo itu juga pasti berkurang karena seiring perjalananku pastinya aku sempatkan memakannya.
Manis dan lembut …. Sedikit ada sensasi kesat tapi memberi nuansa yang lebih kaya.
Tapi deskripsi itu tidak aktual aku sajikan dari benakku kala itu. Aku memang suka buah itu, tapi kala itu aku masih dihantui oleh prediksi buah itu akan habis atau membusuk dan aku akan kembali lapar. Akan terus merasa lapar. Jadi aku kurang bisa menghargai rasanya.
Bagaimana aku bisa mengamankan sumber pangan? Mungkin itu pertanyaan yang sering aku ajukan kala itu. Dan akan aku jawab sekarang, Tidak bisa! Tidak ada jaminan aku akan terus kenyang! Tapi itu sepertinya jawaban yang lebih filosofis, ya? Maksudku, saat itu aku tentu saja tidak sampai memikirkannya meski aku ingat perasaan dihantui kelaparan itu ada. Akan tetapi, jika sebagai monyet dikatakan hanya bisa memikirkan perut, sepertinya mesti aku sangkal. Buktinya aku sempat merasa heran melihat si penjual buah sawo tadi menangis.
Argumen yang tipis, sih. Tapi jika aku tidak punya bibit kebijaksanaan, aku tidak akan berpaling melihat pria dewasa itu menangis, ya, `kan? Atau jika pun aku hanya memikirkan perut, dengan bertransaksi mendapatkan buah sawo itu aku telah melewati batas monyet biasa. Ya, `kan? Ya, `kan?
Kalau diingat lagi, aku belum pernah melihat manusia jantan dewasa menangis. Bahkan majikanku pun aku tidak pernah melihatnya menangis. Tapi mungkin majikanku menyembunyikan tangisnya di tengah mabuk. Aku ingat dia pernah mendatangi kandangku dalam keadaan mabuk. Wajahnya memerah, juga matanya. Dia tampak seperti mengantuk tapi dari cara dia menyeret langkah, dia enggan untuk tidur.
“Eh, ada Akang,” katanya saat mendatangiku di kandang. Sempoyongan. Tangannya memegang plastik bening bersedotan. Isinya tentu saja minuman memabukan, tapi saat itu aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu ada apa dengan majikanku. Dia hampiri jendela, membukanya dan duduk di kusen sambil bersandar. Matanya nanar menatap langit malam.
Aku ingat langit itu gelap, tidak tampak apa-apa. Kulihat lagi wajah majikanku, ada sedih di sana, tapi tidak sampai menangis.
“Kalo kita mau pindah, pindah ke mana, ya, Kang?” katanya, masih menatap langit.
Aku tentu tidak mengerti.
“Di sini kita sudah nggak diterima, Kang. Selalu dianggap penjahat, selalu jadi sampah. Padahal sudah setahun lebih.”
Maksud dia tentunya dia sendiri, bukan kita dalam arti kata aku dan dia. Tidak ada yang tahu soal aku di lingkungan tempat tinggalnya.
Lalu aku dengar dia terkekeh pelan.
“Bapak bilang kita mesti bergerak maju, hijrah kalo perlu, tapi … perlu duit, `kan? Apa jual rumah ini? Bakal laku berapa? Mereka pasti maunya murah, status kita diungki-ungkit. Mending enggak usah deh!”
Aku masih tidak mengerti. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak mengerti. Tapi jelas dia membicarakan para tetangganya. Meski dia majikanku aku tidak bisa menjadi hakim atas kondisi dia jika aku tidak tahu sisi lain dari curahan hatinya, sisi cerita dari sudut pandang tetangganya. Melihat dia mabuk, tentu dia tidak sepenuhnya kredibel, `kan?
“Selalu bergerak maju, tapi … maju ke mana? Malah sekarang kepikiran balik lagi ke penjara. Kalau enggak ada kamu, Kang, mungkin aku sudah ada di penjara.”