Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #11

Jumpa Pertama Lah!

Sejauh yang aku ingat, aku selalu bersama majikanku. Tidak ingat pernah berpindah tangan dari seseorang sebelum ke majikanku. Mengingat meracau majikanku kala mabuk malam itu, sepertinya ada porsi kebenaran kalau aku pernah berpindah tangan dari seseorang. Mungkin bukan hal yang penting, tapi potensi adanya titik awal dari jati diriku, harus aku akui ada sedikit rasa penasaran. Hanya sedikit.

 Aku pikir tidak ada gunanya juga berkubang masa lalu sementara masa depan menawarkan pilihan tak terbatas. Seperti cara aku berjumpa dengan kawanan monyet itu.

Empat monyet itu sempat hanyut, tapi tidak jauh. Ada batu cadas yang datar di pinggir sungai dan jelas mereka berempat berenang ke arah sana. Aku menghampiri batu itu, tapi tidak terlalu dekat. Jarak yang cukup untuk menyimpan empat butir buah sawo. Berbaris dan berjarak.

Mereka berhasil naik ke batu cadas itu. Basah dan tampak kelelahan.

"Siapa kalian?" tanyaku.

Mereka tidak segera menjawab.

"Itu buah masing-masing satu buat kalian," kataku sambil menunjuk empat buah sawo yang berbaris siap disantap.

Mereka bergegas menghampiri dan memungut pemberianku, masing-masing satu.

"Jadi? Nama kalian?"

"Aku Hiji."

"Dua."

"Jangan bilang kamu Tilu dan kamu Opat," potongku sambil menatap bergantian pada monyet sisanya, juga sambil menggaruk pipi.

"He-hebat!"

"Dari mana kamu tahu?"

“Kalian tidak perlu tahu dari mana aku tahu!” tandasku. Meski aku tahu siapapun yang memberi mereka nama cukup tahu akan konsep numerasi. Kalau perkara numerasi bahasa Sunda, itu hasil imajinasiku saat menceritakan ini. Percayalah, itu untuk mempermudah menceritakannya. 

Bahasa kami tidak sevariatif bunyi bahasa kalian manusia. Terlebih lagi, konsep numerasi kami berbasis lima–maksudnya, kami hanya bisa menghitung sampai lima. Biasanya, basis numerasi pada suatu bahasa bisa dilihat dari jumlah jari si pengguna bahasa tersebut, karenanya seharusnya numerasi kami juga berbasis sepuluh, tapi kami, para monyet, biasanya menghitung dengan satu tangan sibuk berpegangan pada sesuatu, entah itu saat bergelantungan, memegang makanan atau sekadar garuk-garuk. Jadi kami terbiasa menghitung dengan sebelah tangan. Tapi bisa jadi ini tersegmentasi ruang dan waktu–maksudku, aku belum pernah bertemu monyet Jepang atau monyet Amerika. Sebagaimana kalian manusia, bisa berlainan bangsa di beda tempat, monyet juga bisa berbeda.

“Aku dipanggil Akang,” kataku, memperkenalkan diri.

“Eh, si Akang juga dipanggil Akang,” kata Hiji sambil berbisik pada ketiga temannya. Berbisik sambil menutup mulutnya meski aku mendengarnya cukup jelas. 

“Si Akang Hiji juga dipanggil Akang, `kan?” tanggap Tilu.

“Cuma si Akang Dua yang dipanggil Dua,” ujar Dua sambil menepuk dada, merasa bangga, meski aku tidak mengerti apa yang patut dibanggakan. 

Hanya Opat yang diam. Dia makan sambil mengamatiku, tapi diamnya tidak lama. Setelah meludahkan biji sawo dia berkata kepadaku, “Kamu harus bertemu sama Akang.”

“Lain kali,” jawabku sambil beranjak dan melompat pergi.

Mereka hendak protes tapi masih sibuk makan buah sawo mereka. Antara mengejar aku dan makan, tentu mereka lebih memilih makan. Aku pun telah menghilang dari pandangan mereka. Aku menghilang tidak terlalu jauh. Hanya memberi kesan aku pergi jauh. Aku sembunyi dan mengintip mereka. Mereka sempat bercakap-cakap sebentar tapi aku tidak bisa mendengarnya. Lalu, aku lihat mereka pergi, awalnya mendekat ke arahku, tapi kemudian memanjat pohon. Aku perhatikan arah mereka bergerak.

Sambil menenteng kantung kresek buah sawo, aku ikuti mereka. Tidak terlalu ngotot, tapi tidak juga abai terhadap gerak pepohonan yang mereka lalui. Sebut saja menjaga jarak. Memang ada sedikit rasa senang aku menemukan sejenisku yang bebas seperti mereka, tapi rasa takut masih mendominasi. Naluriku masih memasang kuda-kuda waspada. 

Lihat selengkapnya