Kalau kalian berpikir aku mau membunuhnya, kalian keliru. Dan aku pikir kalian benar-benar jahat ya, kalau berpikir aku akan membunuhnya? Tentu saja tidak! Tapi mungkin hanya berniat membuatnya pingsan. Itu saja. Tapi memang aku akui, mengingatnya sekarang, apa yang aku lakukan itu lumayan keji.
Dia tentu kehilangan ruang bernapas setelah aku bungkus kepalanya dengan kantung kresek. Dia meronta-ronta, tapi rasa sakit akibat dua kali benturan di kepala membuatnya kehilangan tenaga–atau lebih tepatnya, kehilangan orientasi untuk mengarahkan tenaganya. Ditambah lagi, aku menindih punggungnya.
Aku lihat teman-temannya memperhatikan. Terpana, seolah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku menatap mereka satu per satu. Menatap mereka tanpa emosi. Tanganku masih menarik ujung kantung plastik di leher pemimpin mereka.
Lalu aku rasakan tubuh si monyet besar itu mulai lemas. Saat itu aku longgarkan jerat kresek di lehernya. Kemudian merasa mendapatkan lawang udara untuk bernapas, dia mencoba kembali meronta. Tentu aku juga kembali menjerat lehernya, menarik kuat ujung kresek. Dia meronta cukup kuat, bahkan berhasil merobek bagian yang membungkus kepalanya. Tapi tentu saja dia masih kesulitan bernapas karena, meski kepalanya terbebas, saluran udara di lehernya masih tersekat.
Aku sempat melirik para pengikutnya dan kulihat mereka tampak tegang, berharap pemimpinnya bisa membalikkan keadaan. Terpicu oleh harapan mereka itu, aku mendorong punggung si monyet seiring dia meronta. Tanpa disadarinya, rontaan yang dia lakukan membantuku menggeser kepalanya ke tepi sungai, lalu aku dorong kepalanya hingga tenggelam. Aku lirik lagi para pengikutnya dan kulihat harapan itu padam.
Aku angkat kepala si monyet sambil melonggarkan ujung kresek di lehernya. Dia dengan buas menghirup udara, tapi tampak jelas masih hendak melawan. Aku jerat lagi. Aku tenggelamkan lagi kepalanya.
Aku lihat pengikutnya mulai gelisah. Mereka menggeliat-geliat tak tentu. Ingin bertindak tapi tidak tahu dan tidak kuasa oleh pekatnya rasa takut.
Aku angkat lagi kepala si monyet bongsor itu dan aku dengar dia merengek tak jelas. Ketika aku longgarkan sedikit, aku dengar dia berbisik lemas.
“Ampun …, uhuk! Ampun …, Akang, ampun.”
Aku seret badannya dari tepi sungai lalu aku ikatkan kantung kresek robek itu menjadi kalung buatnya. Lalu aku menyingkir dari punggungnya.
Dia masih lemas, sulit untuk bangkit.
Aku lirik para pengikutnya dan tampak tatapan yang masih gelisah, tapi kali ini bercampur bingung. Saat tatapan mereka beradu dengan tatapanku, mereka secepatnya membuang muka saking takutnya.
Lalu, aku kembali berpaling ke monyet lemas itu. Dia masih terengah-engah, tapi cukup sadar untuk mendengarku.