Aku tidak kembali turun dari puncak pohon itu. Mungkin karena malu telah berpikir akan ada pucuk daun yang bisa aku makan di sana dan ternyata tidak ada. Merasa gengsi untuk turun. Bodoh memang. Belum semenit menggantikan si Boleng tapi egonya sudah sebesar itu. Ya, harus aku akui ego itu ada dan memabukkan. Tapi …, ketika di puncak pohon itu, aku dipertemukan dengan pemandangan yang merendahkan aku. Aku lihat lansekap kota Bandung.
Jika aku triangulasi dari data yang bisa aku akses sekarang, posisiku kala itu berada di sebelah utara Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, tidak jauh dari sub-aliran sungai Cikapundung. Tapi aku tidak bisa memastikannya. Data yang bisa aku akses sekarang masih terbatas. Namun yang jelas, aku ingat saat di puncak pohon itu, melihat sepotong lansekap Bandung, egoku disergap kenangan kalau aku berasal dari sana. Mungkin rumah majikanku ada di daerah yang tak terlihat dari pemandangan itu tapi tetap saja, apa yang aku lihat itu memberiku kesadaran kalau aku tidak berasal dari hutan, tidak berasal kawanan monyet si Boleng.
Aku bukan bagian dari mereka, meski mereka menerimaku. Sekarang mereka menerimaku karena si Boleng mengakui kemenanganku .... Aku diterima karena rasa takut.
Aku terdiam sambil menatap pemandangan sepotong kota Bandung—sepotong karena terhalang bukit dan pepohonan. Aku merasa gamang. Tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan puas tadi yang berhasil mengambil alih kepemimpinan si Boleng, sempat memabukan dan mengawang-awang, tapi kemudian dihempas kenyataan kalau aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya penyusup. Monyet asing.
Aku rasakan ada gerak di belakangku yang membuatku melirik. Aku melihat Hiji, Dua, Tilu dan Opat bergerombol mendekatiku. Agak jauh dari mereka si Boleng mengikuti—masih menghindari beradu tatap denganku.
Aku menunjuk ke arah kota Bandung dan berkata, “Aku berasal dari sana.”
Empat monyet bergerombol itu mendekat lagi. Si Boleng juga ikut mendekat tapi masih menjaga jarak.
“Dari kotanya manusia?” tanya si Opat.
“Manusia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Banyak yang mati,” kataku, sedikit mengabaikan pertanyaan si Opat. Yah, itu berasal dari ego. Tapi mungkin juga berasal dari perasaan terasing dari mereka, perasaan yang masih mempertanyakan, "Apakah mereka mau menerimaku?"
Ya ..., apakah mereka mau menerimaku? Lepas dari kenyataan aku merampas kehormatan dan harga diri pemimpin mereka?
Pertanyaan yang tidak pernah aku temukan jawabannya. Jadi seharusnya aku jangan bertanya. Jikapun aku bertanya kepada mereka, akankah aku suka jawabannya?
Kala itu aku tidak bertanya maka sekarang pun juga seharusnya aku tidak bertanya. Akan tetapi ..., tetap saja mereka juga bagian dari kenanganku sekarang.
"Banyak yang mati karena apa?" tanya Hiji.
"Wabah," jawabku.
"Wabah?" Kali ini Tilu yang bertanya. Terkesan tidak sengaja dan itu membuatnya kaget. Dia mendadak menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Penyakit! Mereka mati karena penyakit," timpal Dua, terkesan sok tahu. Dia menunduk tiba-tiba saat aku menatapnya.
"Penyakit apa? Apa kita juga bakal terjangkit?" tanya Opat.