Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #15

Jangan Bertingkah

Siang makin panas dan aku pun tidak tahan. Aku turun dari puncak pohon, menuju titik teduh di dahan paling bawah. Monyet-monyet itu mengikutiku. Hiji, Dua, Tilu, Opat dan Boleng. Mereka biarkan aku menempati tempat yang paling teduh, mereka sendiri menjaga jarak dariku, sejauh telinga kami bisa menangkap percakapan. Monyet-monyet lain ada juga yang mengikutiku, ada juga yang berpencar mencari makan.

Aku perhatikan si Boleng masih menjaga jarak dari empat mantan pengikutnya, tapi bisa bercakap-cakap dengan mereka.

“Gimana soal anak-anak, Leng?” tanya Hiji.

“Tanya si Akang,” jawab Boleng.

“Gimana soal betina-betina kita, Leng?” tanya Dua.

“Tanya si Akang,” juga jawaban si Boleng.

“Aku tidak butuh!” seruku sebelum pertanyaan mereka bertumpuk. “Kalian atur-atur saja soal itu di antara kalian seperti biasa. Aku akan perhatikan dan aku akan bilang kalau aku tidak setuju.”

Mereka terdiam. Diam benar-benar diam. Tidak hanya tidak bicara tapi juga mematung. Melihat mereka terdiam aku merasa tidak enak. Aku putuskan turun dari pohon untuk minum di sungai. Mereka pun bergerak mengikutiku.

Di sungai, setelah minum, Boleng menghampiri.

“Akang, rencananya kami akan berpindah ke pohon-pohon sebelah sana,” kata si Boleng sambil menunjuk arah lereng di seberang sungai. “Tapi ini sudah terlalu siang dan sepertinya sepi dari manusia.”

“Kalau begitu besok saja,” jawabku. “Atau akan ada yang merebut wilayah kalian jika kita tidak bergerak?”

“Mungkin tidak,” timpal Hiji.

“Tapi lebih aman kalau diperiksa,” usul Opat.

“Biasanya si Akang Dua yang suka dekat-dekat kita,” gumam Tilu.

“Mungkin Akang mau melawan Dua?” tanya Dua.

Aku sempat mengerenyit mendengar usul Dua yang sekilas memang ambigu—antara dia menantangku atau dia mengusulkan aku melawan pemimpin kelompok lain yang juga dia panggil Dua. Tapi aku cukup paham dengan tingkat kecerdasan lima monyet yang kini bertingkah seperti penasihatku itu.

“Bagaimana dia? Dia sekuatmu, Leng?” tanyaku pada Boleng.

“Aku lebih kuat,” ucapnya sambil membuang muka, entah malu, bangga atau takut bersikap kurang ajar.

“Kalau begitu tidak masalah buatku, bukan? Tunjukkan jalannya.”

Seolah mendapat titah, si Boleng bergerak menuju pohon. Aku dan empat lainnya mengikuti. Kami menyeberang sungai, melompat dari pohon ke pohon hingga kami sampai ke jalan setapak ber-paving block, tidak jauh dari tempatku menyaksikan laki-laki bergolok dan laki-laki berkopiah. Tempat itu kini sepi.

“Tidak ada,” gumam si Boleng.

“Apa tidak datang?” tanya Dua.

Lihat selengkapnya