"O'ea! E'o!"
Begitu pekik si Akang Dua, pemimpin kawanan monyet lain di pohon dekat tanjakan jalan setapak, di lereng menurun dari bangunan milik manusia yang aku sangka sebagai warung. Ya, di tempat yang sama di hari sebelumnya, tapi agak berbeda.
"O'ea! E'o! O'ea! E'o! E’o!"
Dia memekik lagi, berulang-ulang, sambil menghempas-hempaskan kedua tangannya ke dahan tempatnya berpijak. Mungkin dia berharap aku terintimidasi atau terprovokasi.
Tidak. Aku tidak terprovokasi, apalagi terintimidasi. Tidak sama sekali. Apa yang dia tunjukkan hanya presentasi rasa takut dirinya sendiri, tidak lebih. Kawanan di belakangnya malah tampak gelisah melihat tingkah pemimpinnya. Bahkan sempat membuatku berpikir, apa yang membuat si Akang Dua itu menjadi pemimpin? Ah, mungkin turunan, dan sepertinya belum ada yang menantang kepemimpinannya di kelompoknya sendiri. Ya, mungkin seperti itu.
Posisi aku dan kawanan monyetku sendiri agak berbeda dari hari sebelumnya. Kemarin aku, si Boleng dan lainnya, berada di atap bangunan warung milik manusia itu. Kini, aku berada di pohon tempat si Akang Dua itu kemarin bertengger. Tidak hanya berenam, pagi itu kami tambah personel dengan beberapa jantan.
Yang sebenarnya memprovokasi jelas aku, bukan?
Aku berbisik pada si Boleng, "Bawa para betina ke sini!"
"Yang betina?" Hiji terperangah heran.
“Juga anak-anaknya," imbuhku.
“Anak-anaknya?” Kini si Boleng yang terperangah. “Mereka bisa terbunuh.”
“Tidak akan. Untuk membunuh anak-anak, dia harus melalui aku dulu, bukan?”
Si Boleng menunduk dan berkata, “Baik.”
“Nanti kamu bawa mereka ke arah sana,” ujarku sambil menunjuk sedikit ke arah kiri di lereng yang menurun, menunjuk tempat yang menurutku bisa mencegah si Akang Dua dan kawanannya bergerak memutar. Niatku memang memaksa mereka bergerak mundur.
“Baik,” jawab Boleng, dan kini lebih menurut seolah tahu kalau aku punya rencana. Tapi sayangnya, otak si Boleng memang pendek. Dia datang membawa para betina ke tempatku berada, bukan ke arah yang aku tunjuk. Entah lupa atau memang dia buta arah.
Ketika Si Boleng datang bersama para betina dan anak-anak mereka, aku bersama Hiji, Dua, Tilu dan Opat bergerak ke tempat yang aku maksud.
“Kalian diam di sini!” bentakku pada si Boleng.
Si Boleng agak kebingungan kenapa aku terlihat marah, seolah dia tidak melakukan kesalahan. Tapi dia menurut. Dia diam di tempat bersama sebagian betina. Sementara betina yang membawa anak tampak tinggal di atap warung—mungkin secara naluri menjaga jarak, menjauhkan anak-anak mereka dari potensi konflik.
“Seharusnya Akang suruh aku,” usul Opat saat aku tiba di tempat yang aku maksud.
“Akan aku ingat itu nanti,” ujarku, lalu memperhatikan Akang Dua dan kawanannya.
“Hey! Hey! Hey! Mau apa kau?!” pekik si Akang Dua.
Aku tidak menjawab. Hanya menatapnya sambil garuk-garuk pinggang.
Menjelang siang, mereka mundur. Lalu aku umumkan kepada kawananku kalau kita akan tinggal di sini, dan akan terus bergerak mengikuti arah kawanan Akang Dua bergerak mundur. Ya, aku berniat mendesak mereka.
Keesokan harinya, kami telah menempati tempat di mana hari sebelumnya ditempati si Akang Dua. Kami hadapi kawanan yang jumlahnya lebih banyak lagi.
“Itu semua kawanannya, sepertinya,” kata Opat.