Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #17

Waktu Terus Bergulir

Siang yang panas, tonggeret bersahutan memeriahkan dominasi sang surya, sementara aku duduk di titik teduh terendah sebatang pohon. Tanah di pantatku terasa sejuk. Semilir angin membawa kantuk dan aku terantuk-antuk antara bangun dan tidur. Waktu bergulir tanpa sepenuhnya disadari 

Suara tonggeret masih konstan, meski seharusnya meredup karena sebagian telah aku dan kawananku buru dan makan. Ya, kami memakannya. Rasanya tidak jauh dari laron, menurutku, hanya lebih bermassa saja. Tentu saja sayapnya mesti dicabuti terlebih dahulu.

Suara tonggeret masih konstan, namun mendadak berhenti. Angin tidak lagi semilir, namun mengencang dan membawa hawa dingin.

“Sepertinya akan hujan.”

Aku dengar suara di dekatku. Suara betina. Betina yang sama yang pertama kali menyisiri rambut punggungku. Anaknya tidak lagi menyusu dan tidak lagi menggantung di perutnya. Sudah besar dan mandiri, sudah menjauh dari induknya. Dan aku telah mengawini betina itu–dan aku tidak perlu menceritakan soal itu, selain memberi informasi aku monyet normal yang telah matang. Juga informasi kalau aku sudah lama bersama kawanan ini.

Lepas dari menyingkirkan kawanan si Akang Dua, kami kembali ke kawasan pohon besar tempat kami bersarang. Tidak selalu di pohon besar itu, sebenarnya. Kadang kami berpindah sesuai kebutuhan bertahan hidup. Tapi, kami berpindah tidak pernah jauh dari sub-aliran sungai Cikapundung, juga jalan setapak ber-paving block yang menghubungkan situs wisata sejarah Goa Pakar dan Curug Omas Maribaya. Kami selalu berada di ruang lingkup Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda.

Aku bangkit, menggeliat dan menguap.

“Di sini kita sudah cukup terlindungi,” kataku, menanggapi ucapannya.

“Seminggu yang lalu bayi kita mati kedinginan,” tambahnya. Dan ini perlu segera diluruskan! Maksud dia “bayi kita” adalah satu bayi di kawanan kami. Bukan bayiku, dan bukan betina itu yang melahirkan. Bayi betina lain di kawananku, yang dibuahi jantan lain di kawananku—mungkin oleh si Boleng.

“Ya, aku tahu,” tanggapku datar.

Ya, aku tahu, tapi sebenarnya bukan seminggu sebelumnya, tapi sepuluh hari atau mungkin lebih. Aku melihatnya sudah lemas, tapi induknya memperlakukannya seperti masih hidup. Mencoba menyusuinya, mencarikan kutu, menyisiri rambut-rambut halusnya, tapi tidak ada kehidupan di pelukannya. Selain aku, sepertinya tidak ada yang menyadari bayi itu sudah tidak bernyawa. Aku pun curiga dia mati bukan karena kedinginan. Dia hanya ditemukan tergeletak di dahan, dekat induknya yang sedang tidur, dan kala itu hujan turun.

Angka kelahiran di kawanan monyet ini tidaklah tinggi, sementara pola ikatan sosial kami cukup kental hingga bisa saling berbagi mengasuh bayi. Dan kala itu, bayi yang mati itu adalah satu-satunya yang baru lahir setelah enam bulan tidak ada kelahiran. Para betina dewasa, melampiaskan naluri keibuannya pada satu bayi itu. Dia diasuh bergantian dan waktu istirahat si bayi terganggu oleh jeda berpindah dari induk ke induk lain. Bukannya mereka tidak punya otak, tapi hanya kurang memanfaatkannya. Bagaimanapun kami hewan.

Tapi, untuk adilnya, rendahnya angka kelahiran bisa jadi karena salahku. Aku sebagai pemimpin kawanan tentu punya andil besar dalam berkembang biak, tapi … tidak ada satu pun betina yang aku buahi melahirkan keturunan. Jelas ada yang salah denganku. Aku adalah anomali kawanan ini dan seharusnya tidak jadi pemimpin. Tapi kala itu aku tidak menyadari soal itu, hanya menyadari bayi itu bukan mati karena kedinginan. Dan yang aku pikirkan saat itu hanya, aku harus menambah kekuatan kawanan ini dengan cara lain. Jadi, yang sebenarnya tidak berotak itu aku.

“Akang! Akang! Akang!”

Aku dengar suara mendekat. Memanggil-manggil. 

Seekor remaja jantan datang menghampiri. Berayun dan mendarat di depanku.

“Ada manusia! Ada manusia!” Dia melompat-lompat sambil menunjuk satu arah.

Aku tidak terlalu tertarik, tapi mengingat dia mungkin belum pernah melihat manusia karena mereka telah lama terkurung wabah Covid, aku sepertinya mesti mengapresiasi penemuannya.

Lihat selengkapnya