Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #18

Mengunyah Beling

Syahdan, tersebutlah satu unit keluarga manusia. Terdiri dari empat anggota; satu jantan dan tiga betina. Tentu saja si jantan yang menjadi pemimpin, namun dia berjalan paling belakang di jalan setapak itu, sambil membawa banyak barang. Dua tas punggung dipakainya, di depan dan di belakang, tampak seperti kura-kura kembung berjalan tegak. Tapi dia tampaknya tidak keberatan. Malah tampak senang melihat dua anak betinanya yang masih kecil berlarian lebih dulu di jalan setapak. Sementara betina yang dewasa berjalan selangkah di depan si jantan, sambil mengabadikan mereka yang berlarian ke layar ponsel.

"Ayah! Ayah! Itu ada monyet!" seru salah satu bocah manusia itu sambil mengacungkan telunjuknya kepadaku.

"Monyetnya gede, ya? Hati-hati! Jangan sampai kamu dibawa dijadikan Tarzan," kata jantan dewasa.

Dua bocah betina itu malah tertawa dan kembali berlarian. Salah satunya sambil berteriak, "Auuoooooo!"

Lalu aku lihat si jantan itu berkata pada betina dewasa di depannya, "Ikatkan tali HP-nya ke tangan. Monyet suka merampas."

"Sudah. Aku tau kok."

Terpantau mereka berjalan dari Gua Belanda, mengambil arah menuju Curug Omas Maribaya. Melihat ukuran dua bocah kecil itu, aku bisa menduga mereka tidak akan sampai ke situs air terjun itu. Jaraknya terlalu jauh untuk ukuran mereka. Sekitar 4-5 kilometer. Lalu deduksi pun terbentuk, dua bocah itu akan dengan cepat kelelahan, dan akan segera beristirahat. Makanan dan minuman pun akan segera disajikan 

Aku dan empat unit berburuku bergerak mengikuti mereka. Menjaga jarak, jangan sampai mereka merasa terancam oleh kehadiran kami.

Mereka pun beristirahat di bangku bambu, dekat bercabangnya jalan setapak. Jalur yang bercabang itu agak menurun, menuju tempat penangkaran rusa.

Ya, di taman hutan ini ada penangkaran rusa. Apa aku belum pernah cerita? Sebenarnya aku merasa tidak perlu menceritakannya. Tapi karena sebelum istirahat keluarga manusia itu memutuskan ubah tujuan menuju ke penangkaran rusa–alih-alih menuju air terjun–maka sepertinya aku perlu cerita.

Aku sendiri tahu penangkaran rusa itu di masa awal aku hidup bersama kawanan si Boleng, saat penjelajahan mandiri, sekadar mencoba mengenal lingkungan baru. Tapi sepertinya aku tidak akan pernah lagi singgah ke penangkaran rusa itu. Rusa yang kutemui bukan tetangga yang layak menyita waktuku.

“Hey, kamu bukan monyet asli sini, ya?” Seekor rusa menghampiri saat aku bertengger di tiang pagar penangkaran. Aku belum pernah melihat rusa sebelumnya, tapi karena bentuknya seperti anjing bertanduk, aku tidak terlalu tertarik.

Dia bertanya sambil mengunyah rumput. Dan pertanyaan rusa itu memang hendak aku jawab, tapi seolah dia enggan mendengar jawabanku, dia langsung menyela.

“Aku juga bukan asal sini. Aku bagian dari pertukaran pelajar dari Universitas Ranca Upas. Kamu tahu, `kan? Yang di selatan Bandung?”

Aku terdiam. Sedikit tercengang menatap persona angkuh yang dia pancarkan. Pusat penangkaran rusa di selatan Bandung dia sebut sebagai institusi pendidikan tinggi khusus rusa. Entah dari mana dia mendapat konsep itu, tapi pastinya dari para manusia. Yah, siapa lagi!

Aku belum konfirmasi tahu atau tidaknya tempat yang dia maksud, tapi dia kembali bermonolog ria soal penelitiannya tentang perilaku manusia pada cuaca hujan.

“Kamu tahu, ternyata mereka suka memakai kain besar yang menutup sekujur tubuhnya untuk menghalangi air hujan.”

“Kunyah beling sana!” desisku sambil melompat turun dari tiang dan merangkak cepat kembali ke pepohonan. Tidak terlalu memperhatikan apakah dia marah atau terus nyerocos meski kehilangan pendengar.

Lihat selengkapnya