Ini mungkin hanya catatan pinggir, entah penting atau tidak, tapi aku merasa perlu menceritakannya.
Tak lama setelah sesi berburu wisatawan hari itu, aku berinisiatif mengembalikan kotak makanan yang aku curi kepada kawanan kecil manusia itu. Memang telah kosong dimakan pengikutku, tapi kotaknya mungkin berharga buat mereka. Atau dari sudut pandangku pribadi, dengan mengembalikannya aku seperti mengobati sesuatu yang terluka di dalam diriku—jauh di dalam. Aku hanya sendirian, tidak ada dari kawananku yang menemani. Mereka mungkin sedang terlelap diayun ambing siesta.
Aku mencegat mereka di tempat aku mencuri kotak makan itu. Di pertigaan jalan setapak menuju penangkaran rusa dan menuju Curug Omas. Tentu saja aku tidak secara frontal mencegat mereka. Aku sembunyi terlebih dahulu, di semak di belakang bangku bambu. Aku pegang erat kotak berbahan plastik itu saat empat manusia berlainan ukuran itu datang.
Mereka tampak kelelahan. Si ayah pun tampak kelelahan. Meski ditutupinya dengan senyum dan canda, meski noda basah di ketiak kemeja khakinya memaparkan stamina yang berkurang banyak.
“Naik, naik, ke puncak gunung, tapi kapan turunnya?” Si ayah berdendang seiring langkah gontai menuju bangku bambu. Dia masih memakai dua tas ransel di depan dan dibelakangnya.
Ketika si ayah duduk, dua anaknya berdiri menghadap papan petunjuk arah yang memberi tahu tujuan masing-masing jalur berikut jaraknya.
“Yah! Yah! Kalo ke air terjun masih jauh?” tanya salah satu bocah.
“Kamu masih kuat jalan dua kilo lagi?” tanya sang ayah.
“Dua kilo berapa jauh?” tanya bocah yang lain.
“Sejauh tadi kita jalan ke tempat rusa.” Kini ibu mereka yang menjawab.
“Yaaah! Lemes!” ujar bocah yang lebih besar sambil jongkok lemas.
Ayahnya tertawa, tapi mendadak berhenti dan kaget. Suaranya seperti mendadak tercekik. Dan memang wajar dia kaget karena saat itu, aku telah mengendap-endap menghampiri, dan menyimpan kotak makanan itu di bangku di samping si ayah. Tanpa sengaja tangannya menyentuh punggung tanganku.
Tentu aku juga tidak kalah kagetnya. Aku lepas kotak makanan itu dan melompat mundur. Segera merangkak menjauh.
“Dia balikin kotaknya, Yah!” seru salah satu bocah.
Mendengar itu aku berhenti dan berpaling untuk melihat mereka.
“I-iya,” jawab si Ayah sambil menatapku, tampak dia seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Aku balas menatapnya, lalu menunduk hormat. Sekadar berterima kasih.
Ketika aku kembali mengangkat kepala, aku lihat si ayah juga menunduk, entah sengaja atau mirroring tingkahku karena terkejut. Dua anaknya pun ikut membungkuk, namun sambil mengatupkan tapak tangannya di dada. Hanya ibunya yang masih diam, hanya terpana melihatku.
Aku rasakan ada yang meleleh dalam batinku. Aku segera pergi sebelum emosi menyergap benakku.
Jika Tinbergen atau Konran Lorenz melihat tingkahku waktu itu, apa yang akan mereka katakan, ya?
Siapa mereka?
Maksud kalian Nikolas Tinbergen dan Konran Lorenz itu?