Sebut saja itu mimpi.
Walau begitu jelas, begitu jernih, begitu ... nyata.
Namun sisi skeptis benakku lebih memilih sosok manusia betina bergaun putih itu adalah manifestasi alam bawah sadarku yang gelisah dan terusik kejanggalan. Kejanggalan soal mengapa aku dan pemimpin-pemimpin kawanan monyet di sini sama-sama dipanggil Akang, meski ada ekor panggilan seperti Hiji, Dua dan sebagainya, meski itu juga sebenarnya subjektif–maksudku, aku dipanggil Akang oleh kawananku, tapi bisa jadi Akang Dua juga dipanggil Akang oleh kawanannya sendiri, dan bagi kawanan Akang Dua, aku bisa jadi dipanggil Akang Tilu. Bikin pusing, bukan? Karenanya, kejanggalan yang berkelindan itu akan lebih mudah bila ditebas sebagai kebetulan semata. Toh, hanya mimpi, ya, `kan?
Bagaimanapun Akang hanyalah panggilan bahasa Sunda yang setara dengan kakak atau abang. Mengandung elemen senioritas dan kekuatan, meski mungkin minim kebijaksanaan; panggilan bagi sosok yang bisa diandalkan. Jadi, ketika pertama kali aku dengar si Boleng dipanggil Akang, aku hanya berprasangka itu sebagai kebetulan semata. Tapi ketika ada panggilan Akang Hiji, Akang Dua—Akang-Akang untuk kawanan lain—maka konsistensi panggilan itu menunjukkan adanya asal muasal yang sengaja menerapkannya, dan pastinya yang menerapkan itu adalah manusia, benar, bukan?
Aku sendiri dipanggil Akang oleh majikanku, maka aku berasumsi dia yang pertama kali menerapkannya kepadaku. Tapi, jika majikanku mendapatkanku dari tangan yang lain, maka bisa jadi asumsiku itu keliru. Bisa jadi aku juga disebut Akang dari asal yang sama dengan panggilan Akang bagi monyet-monyet terpilih di taman hutan itu. Mungkin seharusnya aku juga berada di hutan, alih-alih di tangan seorang bujangan yang baru keluar dari penjara. Maka, jangan salahkan aku kalau aku mulai melihat semacam teori konspirasi. Absurd memang, dan itu juga yang membuat pilihan menebasnya sebagai kebetulan semata begitu mudah dan menggoda.
Namun, bila benakku memilih menganggapnya kebetulan semata, maka mengapa aku terusik hingga memimpikan sosok bergaun putih itu? Itu pun jika dia memang mimpi, tapi jika bukan, apa untungnya bagi sosok yang mengaku bukan manusia itu dengan memberitahu aku soal panggilan Akang? Semakin absurd, bukan?
Maka pertanyaan yang harus aku jawab sebenarnya adalah, “Abaikan atau jangan abaikan?”
Mungkin akan sangat mudah untuk mengabaikannya, tapi ketika aku kembali ke kawananku, aku temui si Boleng dan bertanya, “Kamu tahu di mana kawanan Akang Hiji sekarang?”
“Dia dan kawanannya pindah ke dekat air terjun, Kang,” jawabnya.
“Pindah? Kenapa?”
“Sejak membunuh Bapak dan merebut betina-betinanya, mereka perlu kawasan yang lebih luas dan lebih banyak pengunjung manusianya untuk berburu.”
Sempat aku terperangah dan menatapnya. Aku memang tidak menyangka, tapi ada bagian dari naluriku yang bisa mengerti rangkaian peristiwa dalam pergantian tampuk pimpinan kaum monyet. Sebagaimana aku merebutnya dari si Boleng, Akang Hiji juga merebutnya dari ayahnya si Boleng. Bisa dikatakan, Si Boleng dan kawananya adalah kawanan baru yang tercipta dari sisa-sisa yang tersisihkan setelah pergantian tampuk pimpinan. Berbeda dengan aku yang tidak membunuh si Boleng, karenanya tidak ada kawanan baru yang tercipta. Jadi jangan berpikir ada pemilu di kalangan monyet, ya!
Melihat tatapanku, si Boleng mendadak takut dan membuang muka.
“A-Akang tidak akan membunuh saya, `kan?”
“Tidak! Tentu saja tidak! Aku hanya ingin tahu seberapa banyak kawanannya.”
“Akang mau merebut betina-betinanya?”
“Tidak,” ujarku sambil memijiti kening yang mendadak pening. Alur percakapan telah menyimpang dari apa yang aku niatkan. Aku berniat menanyakan tentang awal panggilan Akang, apakah berawal dari bapaknya si Boleng, atau ada lagi generasi yang lebih awal. Tapi mendapati alur percakapan menjadi seperti itu, pilihan tidak lagi sekadar “Abaikan atau jangan abaikan?” tapi menjadi keputusan, “Terpaksa kita abaikan!”
Hanya saja, seperti menjadi suratan takdir, beberapa hari kemudian, di pagi hari, aku mendapat laporan dari si Boleng kalau kawanan Akang Hiji terlihat mendekat.
“Berapa banyak?” tanyaku.
“Cuma Akang Hiji.”
“Sendiri?”
“Iya, sendiri.”
“Tadi kamu bilang kawanan?”
“Iya, kawanan Akang Hiji, tapi cuma Akang Hiji yang datang.”
“Tunjukkan tempatnya!” geramku. Geram yang sebenarnya menahan pening, alih-alih geram marah.
Si Boleng membawaku ke sebuah jembatan. Beberapa dari kawananku mengikuti juga Hiji, Dua, Tilu dan Opat.
Jembatan itu cukup besar dan cukup tua. Juga tidak terurus karena banyak ditumbuhi rumput di sisi-sisinya, di sudut-sudut tembok pembatas jembatan, dan bagian yang berbahan besi di atas tembok itu telah banyak berkarat. Kulihat juga ada pipa besar yang melintang di atas salah satu tembok pembatas jembatan. Ketika aku tiba, kulihat seekor monyet duduk persis di tengah jembatan, seolah menghalangi jalan dan menunggu kami. Melihatnya, aku segera bersikap waspada.