Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #21

Eksodus

"Ranca Upas," kataku pada kawananku.

Saat itu usul pergi meninggalkan taman hutan raya sudah tidak lagi bisa diabaikan. Namun mereka tidak tahu mesti ke mana dan bagaimana memulainya. Tentu saja rata-rata monyet bergerak sesuai rangsangan, bukan sesuai visi. Dan yang ada saat itu adalah rangsangan rasa takut. Memang biasanya, rangsangan rasa takut yang hewan rasakan adalah rangsangan yang simultan yang berujung pada dua pilihan; bertarung atau kabur. Hanya saja, rangsangan rasa takut kali ini berbeda. Rasa takut yang perlahan memekat dari embusan-embusan isu, gosip dan bahkan dusta. 

 “Ranca Upas?”

Terpantau empat monyet yang mengulang perkataanku itu. Sementara yang lain hanya menatapku, menunggu penjelasan.

“Ada tempat penangkaran rusa di selatan Bandung, namanya Ranca Upas. Itu artinya, kita monyet juga bisa hidup di sana,” kataku.

Lalu aku dengar bisik-bisik setuju dari semua monyet yang mendengar usulku.

“Tapi selatan itu ke mana, Kang?” tanya Opat.

“Kita berada di utara Bandung, artinya kita harus menyeberang kota Bandung,” kataku sambil menunjuk pemandangan lasekap kota yang katanya kota kembang itu. Dari pohon tempatku bertengger, kota itu tidak sedikit pun mirip kembang.

Hanya saja, ucapan dan tingkahku yang mengacungkan telunjuk ke arah kota itu berefek seperti sosok nabi yang menunjuk pada tanah yang dijanjikan tuhan. Ada harapan yang terpancar dari seluruh anggota kawananku.

“Kapan kita berangkat, Kang?”

“Secepatnya,” jawabku pada entah monyet mana yang bertanya, meski jawabannya berlaku pada seluruh jemaatku.

“Bagaimana soal makanan, Kang?”

“Di mana ada manusia, di sana ada makanan,” jawabku.

“Ya, tinggal kita rampas saja!” seru Boleng semangat.

Monyet lain bersorak.

“Tapi …,” ucapku dan berhenti cukup lama sampai aku kembali mendapatkan perhatian mereka. “Kalian pergi duluan. Aku mesti menemui Akang Hiji. Selain berterima kasih, aku juga akan mengajaknya.”

“Benar, Kang. Kasihan kalau ditinggal sendirian,” ucap seekor betina. Betina yang sama yang pertama kali menyisiri punggungku. Dia sama sekali tidak menangkap ada dusta dari perkataanku.

Keesokan harinya, di pagi buta, kawanan monyetku berangkat keluar taman hutan raya, mulai memasuki peradaban manusia. Aku berpesan supaya selalu berada di tempat tinggi. Juga berpesan untuk berusaha agar tidak terlihat oleh manusia. Memang, patut diragukan mereka akan menurut, juga sangat sangsi kawanan berjumlah banyak itu tidak akan terperhatikan oleh manusia kota.

Lihat selengkapnya