Dari kejauhan aku pantau arah gerak si Boleng dan teman-temannya. Aku tidak melihat Hiji, Dua, Tilu atau Opat. Aku sempat memindai sekitarku untuk melacak mereka, tapi tidak aku lihat gerak monyet selain si Boleng dan teman-temannya. Sambil memantau gerak mereka, aku juga mendapatkan orientasi posisi kami, dengan acuan jembatan layang yang memang terlihat dari tempatku berada. Aku juga menemukan arah tujuan sementara sebagai titik berkumpul kami. Tempat yang menurutku cukup aman, karena banyak pohon besar dan rindang.
Tapi aku harus memberi tahu yang lainnya!
Saat itu aku sedang berada di atap sebuah gedung yang berhadapan dengan sudut persimpangan jalan. Gedung yang cukup tinggi. Aku kembali perhatikan arah si Boleng dan kawanannya dengan niat mencari jalan tercepat untuk mencegat mereka. Ketika melihat mereka beristirahat di sebatang pohon di halaman sebuah gedung yang masih dalam tahap konstruksi, aku ambil kesempatan itu.
Aku melompat terjun ke pohon terdekat, tidak peduli dengan jaraknya. Memang atap gedung itu jauh lebih tinggi dari pohon yang aku tuju, tapi elastisitas dahan pohon yang aku tangkap sanggup meredam percepatan laju jatuhku. Aku lepas dahan itu sebelum elastisitasnya malah melemparku kembali ke atap gedung. Aku raih dahan di bawahnya, lalu aku melompat ke pohon lain, sebelum beralih ke kabel yang melintasi ruas jalan. Aku menyeberang jalan dan secepatnya berlindung di sebatang pohon yang rindang. Aku diam sejenak untuk mengkalibrasi orientasi arahku. Aku bergerak kembali setelah yakin akan arah yang aku ambil. Semoga si Boleng dan kelompoknya masih berada di halaman gedung itu.
"Itu si Akang!"
Aku dengar salah seekor monyet berteriak saat aku telah dekat. Mereka melihatku datang.
Aku hampiri si Boleng dan dia tampak merasa lega melihatku.
“Sekarang gimana, Kang? Ke arah mana?” tanya Si Boleng, terdengar gemetar. Sepertinya stamina mentalnya teruji oleh keramaian manusia yang baru saja dia lalui. Keramaian yang tidak biasa dia hadapi.
“Tunggu. Mana yang lainnya?” tanyaku.
“Saya di sini, Kang?”
Aku berpaling dan melihat Dua mendekat lewat atap gedung itu. Sepertinya dia mengambil arah mengitariku, jadi tidak terlihat dari posisiku di atap gedung tadi.
Tinggi atap gedung itu setara dengan pohon tempat kami singgah dan Dua dengan mudah melompat ke pohon, menghampiri aku dan Boleng. Aku juga bisa aku lihat teman-teman si Dua menunggu di atap itu, bahkan ada yang masuk ke dalam rongga tak berjendela dari situs konstruksi itu. Aku tidak melihat ada manusia di sana, mungkin pembangunan gedung itu masih belum berlanjut.
“Hiji, Tilu dan Opat di mana?” tanyaku.
“Kami terpisah, Kang. Opat sama yang lainnya menyeberang jalan lebih dulu dari Boleng. Katanya di sisi sana lebih banyak pohon. Aku sih karena ikuti Boleng.”
“Kenapa kamu gak kasih tau?!” bentak Boleng pada Dua. Sepertinya Boleng memang menganggap Opat cukup pintar dan pendapatnya bisa diandalkan. Ya, aku bisa mengerti kenapa Boleng membentak.
Mendapat omelan Boleng, Dua menunduk dan diam.
“Sudah. Biar nanti aku lacak mereka. Sekarang kalian kembali ke persimpangan jalan tadi, tapi tetap berada di pepohonan, lalu ambil arah kanan. Kalian tahu kanan, `kan?”