Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #23

Namaku Bo ... Bo Leng

Tentu saja aku tidak tahu siapa yang memburuku dan apa alasannya. Tapi itu tidak penting, bukan? Setidaknya dari sudut pandang seekor monyet. Yang pasti, tidak ada satupun monyet yang rela membiarkan anak panah itu bersarang di tubuhnya. Hanya saja, kala bersembunyi di situs konstruksi itu, siapapun yang menembakkan anak panah itu sepertinya tidak mau menarik perhatian, baik olehku yang menjadi sasaran, juga oleh manusia-manusia di sekitarnya. Aku tidak melihat siapapun yang mendekat situs konstruksi itu meski aku sudah cukup lama sembunyi dan mencari-cari asal muasal anak panah itu.

Atau mereka sudah berganti sasaran ke kawananku?k

Kembali aku merasa bodoh.

Memang, aku telah bertingkah terlalu menarik perhatian saat memberi arahan si Boleng, Dua dan yang lainnya, tapi aku juga tidak berhak bertinggi hati untuk menganggap diri menjadi satu-satunya buruan mereka, bukan?

Kawanan si Akang Hiji juga hilang satu per satu, `kan?

Kembali aku menepuk kening, entah untuk keberapa kalinya. Lalu aku mulai bergerak, mengambil arah lain. Niatku telah berubah, aku coba kejar Boleng, Dua dan yang lainnya, ke taman balai kota.

Kalau tahu seperti ini, aku tidak perlu memberi arahan! Aku langsung bawa mereka ke sana!

Tentu saja itu keluhan yang sia-sia. Tidak hanya sia-sia, bahkan paradoks! Kalau aku melakukannya dan mengantar mereka langsung ke taman balai kota, maka aku tidak akan tahu ancaman pemburu itu telah dekat.

Aku keluar situs konstruksi itu lewat rongga tak berjendela di sisi lain gedung. Aku melompat naik ke atap yang belum rampung dan melompat lagi ke tiang jaringan telekomunikasi sebelum mencapai batang pohon. Aku bergerak mengitari situs konstruksi, lalu kembali ke rute yang sesuai dengan arahanku kepada si Boleng, Dua dan yang lainnya.

Untuk rute yang ditumbuhi pohon, mungkin keberadaanku masih tersembunyi, namun ketika sampai di jalan layang, aku terpaksa melintasi jalan, melewati kolong jalan layang, dengan terpapar keramaian. Keramaia yang segera tertarik akan keberadaanku. Aku bergerak cepat–secepat yang kuharap tiada manusia satupun yang sempat merekam aku dengan ponselnya.

Di seberang jalan layang, lapar mulai menyerang. Aku beristirahat di sebatang pohon yang tumbuh di halaman sebuah rumah yang tampaknya beralih fungsi sebagai kedai makan. Tentu aku tidak turun, duduk di salah satu meja kedai dan memindai menu sebelum memesan–meski membayangkannya seperti sesuatu yang sureal dan menggugah imajinasi. Tapi pada kenyataannya aku cukup puas dengan pucuk daun muda sambil mencium aroma masakan dari dapur kedai.

Sepertinya kala itu waktu makan siang bagi para manusia, karena kedai itu cukup ramai. Tapi tidak ada yang memperhatikan aku dan aku cukup bersyukur. Hanya saja, rasa syukurku berumur pendek.

"Kang!" ucap seekor monyet sambil melompat dan mendarat di dahan pohon tempat aku bertengger.

Aku lihat Tilu yang mendekat. Tidak hanya Tilu, beberapa monyet mengikuti dan mendarat di pohon yang sama hingga batang pohon itu bergerak berlebihan dan seketika menarik perhatian.

"Itu monyet!"

Aku berdecak dan segera memberi perintah kepada Tilu dan yang lainnya.

"Ikuti aku!"

Aku melompat ke pohon lain dan terus melompat ke pohon lainnya, menjauh dari perhatian manusia. Aku pastikan Tilu dan yang lainnya mengikutiku.

Setelah cukup jauh dan mendapati pohon yang aku kira cukup melindungi kami, aku beri arahan untuk Tilu dan yang lainnya agar mereka menuju taman balai kota. 

“Kalian bertemu yang lainnya?” 

“Aku lihat Boleng dan Dua di sebelah sana, Kang,” jawab Tilu sambil menunjuk arah yang berlainan dengan rute yang sudah dibahas. Ya, mereka melenceng dari tujuan ke taman balai kota. 

Mereka tersesat?! pekik batinku, meredam dorongan untuk menepuk kening.

“Kalian ikuti aku!” desisku, berniat membawa rombongan Tilu sampai ke taman balai kota. 

Kami melompati pohon-pohon besar yang berbaris di samping jalan raya. Hingga jalan raya itu berakhir pada persimpangan, juga berakhir pula barisan pohon besar itu. Di seberang persimpangan, terdapat kumpulan bangunan. Dengan sedikit sekali pepohonan. 

Melalui kabel, kami menyeberang. Aku sempat peringatkan Tilu dan yang lainnya untuk menyeberang satu per satu, tapi sabar bukanlah kebajikan utama monyet. Percayalah ....

Ketika aku berhasil mencapai seberang jalan, sempat aku lihat kawanan Tilu berebut untuk segera menyeberang jalan. Untung saja tidak ada yang jatuh. Beruntung juga kabel-kabel itu tidak putus.

Kami panjati atap bangunan, lalu bergerak searah jalan raya, hingga kami mencapai ruas jalan yang lain. Ruas jalan yang memisahkan kami dengan taman balai kota. Memang tampak pepohonan di depan kami, dan sepertinya pemandangan itu juga yang memicu kawanan monyet itu bergegas mencari cara menyeberang masing-masing. Tidak menunggu arahan dariku, tidak juga memperhatikan aku. Seketika aku merasa diabaikan oleh kawanan monyetku sendiri. Meski tidak eksplisit, aku mulai berpikir, haruskah aku peduli dengan mereka?

Tapi sebenarnya aku cukup mengerti kenapa mereka demikian. Masing-masing mereka tentu merasa gelisah karena kami memasuki teritori yang asing, tanpa kepastian nasib untuk bertahan hidup. 

Sepertinya aku mesti menunda membicarakan soal pemburu itu. Mungkin sebaiknya aku menangani sendiri para pemburu itu, pikirku kala itu, tidak sedikitpun terpikir kalau ketika kami masuki lebih dalam pepohonan taman balai kota, kami bertemu dengan rombongan yang dipimpin oleh Hiji dan dia membawa laporan. 

Lihat selengkapnya