"Ini idemu atau ide monyet kebun binatang itu?"
Itu yang aku tanyakan pertama kali saat menemuinya. Sedikit datar, sedikit mengintimidasi, tapi juga tidak kupungkiri ada rasa peduli. Ya, peduli, meski aku pernah hampir membunuhnya. Bagaimanapun, berkat dia aku diterima kawanan monyet, yang memberiku pengalaman dan membuatku merasa diterima—meski memang ada kalanya frustrasi terhadap tingkah kawanan yang pernah Boleng pimpin itu, tapi perasaan ada yang mau menerima, mendengar dan mematuhiku sanggup menutupinya.
Aku mengintainya sejak matahari tenggelam. Dari atas pohon di pinggir jalan, di luar pagar tembok kebun binatang. Mungkin di tempat yang sama kala aku pernah berniat untuk tidak lagi menghampiri tempat itu, dan tidak menyangka aku akan memungkirinya.
Suasana kebun binatang itu tampak suram seiring meredupnya cahaya, begitu pula kandang yang ditempati si Boleng. Kulihat ada monyet lain dalam kandang itu, tapi si Boleng tampak sendirian. Mungkin masih dijauhi, masih belum akrab. Aku belum berani mendekatinya, sebelum gelap mendominasi dan menutupi kehadiranku. Tentu saja aku tidak ingin diketahui penghuni kebun binatang yang lainnya, terutama manusianya.
Hanya dituntun remang lampu-lampu di kejauhan, aku hampiri Boleng yang hendak tidur. Dia meringkuk di atas dipan kayu, di salah satu sudut kandang kawat. Dia masih sendirian, sementara tiga monyet lain penghuni asli kandang itu berkumpul di sudut kandang lainnya, menjauh dari Boleng meski di sana tidak ada dipan atau tempat nyaman untuk tidur. Sepertinya si Boleng ditakuti oleh monyet-monyet itu. Sepertinya, monyet yang bertukar tempat dengan si Boleng adalah pemimpin mereka, pemimpin yang menelantarkan kawanannya. Sepertinya aku telah melakukan kekeliruan dengan menyetujui monyet itu memimpin kawanan si Boleng, tapi … salah tetap jatuh pada si Boleng sendiri, bukan aku.
Dia terperanjat mendengar pertanyaanku. Dia segera terduduk menghadapku, tapi tidak berani menatapku.
“Jawab! Ini idemu atau idenya?” ulangku, masih datar, masih mengintimidasi.
“Idenya dia, Kang, tapi sa-saya menyetujuinya,” jawab Boleng, menunduk dalam dan takut. Hanya takut, tidak ada penyesalan.
“Alasananya?”
“Saya terlalu bodoh untuk tetap di dalam kawanan Akang, apalagi memimpin bagian dari kelompok Akang. Saya akan selalu membebani.”
“Aku tidak bisa menerima alasan itu. Kamu bukan beban! Kamu yang pertama kali menerimaku sebagai pemimpin dalam kawananmu!”
Entah mengapa, mengingat perkataanku itu, aku merasa seperti kehilangan wibawa kepemimpinanku. Seperti merajuk bak bocah kecil yang dilepas induknya kala menyusui.
“Sa-saya …. Eh, itu …. Terima kasih, Kang, kalau Akang berpikiran seperti itu, tapi …, tapi saya sendiri tidak bisa. Saya tidak bisa menerima diri ini di dalam kawanan Akang.”
“Biar aku yang memutuskan itu!”
“Tidak, Kang—eh, itu, anu ….” Ia tergagap, matanya bergerak-gerak, masih tidak berani beradu dengan tatapaku. Tapi, kemudian, ketika matanya sempat menangkap tatapanku di keremangan malam, sepertinya dia menyadari sesuatu dari tatapanku.
“Maaf, Kang. Saya harus mengatakannya. Perpisahan itu biasa, Kang.”
Aku mengerenyit heran. Aku lihat dia memberanikan diri menatapku. Aku lihat bahasa tubuh yang tidak biasa dari diri Boleng. Ada syahdu, ada khidmat, ada bijak dari badan besar yang agak membungkuk itu. Mungkin gelap yang membuatnya tampak demikian, atau memang ada perubahan perilaku kala berpapasan dengan monyet kebun binatang.
“Ada apa denganmu?” tanyaku, mengutarakan rasa heranku.
Dia mengangkat sebelah tangannya, memintaku untuk mendengarkannya.
“Selama ini saya juga memperhatikan, Kang. Memperhatikan Akang, juga memperhatikan yang lainnya. Waktu melihat Dua tumbuh makin pintar, saya … saya merasa selama ini saya tidak berubah. Saya masih tolol seperti saat Akang mengalahkan saya.”
“Tidak! Kita bisa tumbuh bersama!” potongku tegas.
Boleng mengangkat sebelah tangannya lagi.
“Saya membutuhkan perubahan ini, Kang. Maaf, saya tidak bisa bersama Akang terus. Akang juga tidak bisa bersama saya terus. Akang harus menemukan tanda-tanda kemenangan lain bagi Akang.”
“Hey! Aku tidak pernah menganggapmu sebagai piala—”
“Dimulai dengan melepas saya, Kang. Dimulai dengan menghormati keputusan saya,” potongnya yang seketika membuatku terpekur.
Tidak ada yang pernah memintaku untuk menghormati keputusan siapapun. Selama ini aku selalu yang memutuskan. Apa yang dikatakannya membuatku terdiam.
“Waktu saya melihat monyet di sini, saya mampir dan mendengar monyet itu bertanya soal bagaimana rasanya di luar sana. Saya juga balik bertanya, bagaimana rasanya di dalam sini? Dia lalu mengusulkan supaya bertukar tempat.”
“Kau ditipunya! Aku tahu bagaimana rasanya terkurung! Sungguh tidak—”
“Tapi saya tidak tahu, Kang,” potongnya lagi. Tidak dengan suara keras, tapi sanggup membuatku terdiam. “Baik buruknya, saya harus merasakannya sendiri.”