Sebut halusinasi, atau otakku telah korslet, atau konsistensi syarafku perlu kalibrasi, atau bahkan kalau memang hantu sekalipun, tetap saja isi dari percakapan itu tidak bisa aku sangkal. Tidak bisa aku pungkiri cerita Bah Anom telah memberiku sudut pandang baru. Ada bagian dari dalam diriku yang perlu aku benahi terlebih dahulu.
Sebelum aku berharap diterima siapapun, aku harus menerima diriku sendiri.
Kalau diingat lagi, aku terlalu menuntut sekitarku untuk mengimbangi standar dan kemaunanku. Karenanya aku mudah frustrasi. Tapi itu hanya satu elemen sederhana dari konsistensi jati diriku. Masih banyak elemen lain yang mesti aku benahi, seperti kenanganku akan majikanku misalnya. Bagaimanapun porsi hidupku bersamanya telah membentukku hingga apapun yang dia ajarkan menjadi bekal untukku bertahan hidup. Maka, anggapan aku mesti melepas kenangan akan majikanku tidaklah tepat, akan tetapi lebih mengambil ulasan hikmah dari kenangan itu yang bisa aku proyeksikan ke masa depan. Memang masa depan itu berkelumun kabut ketidakpastian, tapi dengan punya kenangan, bukankah juga aku berpegang pada ruang waktu masa lalu yang mengatakan, “Aku pernah hadir dalam hidup seseorang!” karenanya, masa depan akan tampak tidak terlalu suram?
Begitu pula ketika aku bersama kawanan monyetku.
Aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengan mereka, tapi aku sudah berjanji untuk berusaha, bukan? Maka menceritakan kisah ini adalah salah satu usaha itu, bukan? Memang masih ada usaha lainnya, tapi itu aku ceritakan nanti.
Lepas dari kandang Bah Anom, aku panjat pohon, beralih ke pohon yang berada di luar kebun binatang, lalu tidur di sana. Sebelum matahari terbit aku telah berusaha jauh dari kebun binatang dan si Boleng. Aku biarkan dia pada pilihannya. Aku mungkin tidak setuju, tapi aku bisa mengerti dan menghormatinya. Ya, itu satu langkah kecil pertama untuk membenahi diriku. Menerima dan menghormati keputusan si Boleng.
Langkah selanjutanya, seperti rencana awal, aku coba lacak keberadaan Opat, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana selain memantau apapun yang dianggap pergerakan monyet.
Sempat beberapa hari kemudian aku melihat kawanan Hiji dan Dua menuju arah matahari terbit. Mereka berpencar karena terpisah pertimbangan masing-masing pimpinan. Hiji menuju selatan karena di sana terdapat banyak pepohonan namun memang hanya berupa taman komplek pemukiman manusia, sementara Dua lebih memilih ke timur laut karena kontur lahan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dari keputusan keduanya. Aku hormati keputusan mereka. Setelah melihat mereka berpencar, aku ambil arah yang berlawanan dengan mereka. Aku kembali ke tengah kota, melewatinya dan mencoba mencapai bagian barat kota Bandung.
Dalam perjalananku itu, aku tidak menyangka akan berpapasan dengan satu pusaka kenangan akan majikanku. Aku berpapasan dengan sebuah kios kopi dan rokok. Kios tempat dahulu majikanku selalu menitipkan kotak peralatan topeng monyet. Kios itu dalam keadaan terbuka, dan di bawah pohon di samping kios itu aku melihatnya. Kotak kayu milik majikanku. Tanpa berpikir panjang aku menghampirinya. Bukan tindakan yang bijak, tapi emosiku tumpah ruah hingga tidak bisa berpikir jernih.
Aku dekati kotak kayu itu dan membuka penutup berengsel di bagian atas kotak itu. Aku lihat isinya masih utuh. Aku lihat sepeda kayu bersama helmnya, keranjang plastik, bahkan ada satu topeng ranger super warna kuning baru yang belum sempat dijadikan bagian dari atraksi topeng monyet kami.
“Akang?”
Aku terperanjat kala ada manusia yang memanggilku. Aku berpaling cepat dan melihat sosok tambun seorang pria. Aku ingat dia adalah pemilik kios itu.
“Akang nu tukang doger monyet? Lain ah!” (“Akang yang pemain topeng monyet? Bukan ah!”)
Aku lihat di depan kios ternyata ada beberapa laki-laki dewasa sedang duduk di bangku kayu panjang sambil ngopi dan ngudud. Salah satunya berseragam tukang parkir dan yang lain memakai jaket seragam ojek online, yang lainya berpakaian bebas. Mereka semua memperhatikan aku.