Kecuali Monyet

DMRamdhan
Chapter #26

Antara Berburu, Diburu dan Terburu-Buru

Apakah aku mengada-ada kalau berpikir kami akan berkumpul kembali? Apa terlalu mengawang-awang untuk menyatukan yang terserak dari kawanan makhluk impulsif bernama monyet?

Memang ada kalanya aku berkecil hati melihat tipisnya kemungkinan bisa melacak mereka dan mengarahkan mereka pada satu tempat tujuan. Tapi janji sudah terucap, bukan? Aku akan berusaha untuk bisa mengumpulkan dan berkumpul bersama mereka kembali. Aku tidak bisa mungkir dari ucapanku.

Harus pula aku akui, akan terlalu menuntut dan kewalahan rasanya bila mesti memantau gerak kawananku dari jauh sementara juga harus melacak kawanan Opat—yang aku harap mereka sudah berada di Ranca Upas meski belum pasti. Lalu ditambah ancaman pemburu yang kian nyata.

Ya. Semakin nyata. Dan yang awalnya aku pikir hanya satu entitas pemburu, ternyata aku keliru.

Masih ingat anak panah yang meleset dan menancap ke batang pohon? Itu hanya satu ujung spektrum pemburu yang canggih. Ujung spektrum lainnya tak begitu canggih. Hanya berupa perangkap tradisional.

Bisa kalian bayangkan seutas tali yang melingkar di tanah? Lalu diletakkan di tengahnya sesisir pisang mas? Lalu ada monyet sial yang menjulurkan tangannya untuk mengambil pisang itu, dan tiba-tiba tali itu ditarik pemburu untuk menjerat lengan si monyet? Bisa dibayangkan? Bisa dibayangkan juga kalau monyet sial itu aku?

Ya, monyet sial itu aku, tapi sial bagi pemburu karena monyet yang dia pancing adalah aku. Aku telah sadar akan perangkapnya, bahkan saat melihat pisang itu tergeletak. Monyet sial ini cukup skeptis untuk waspada pada sesuatu yang terlampau mudah diraih. Juga monyet sial ini cukup percaya diri dengan kecepatannya. Sebelum tali menjerat, pisang telah raib aku bawa.

Itu terjadi ketika aku sedang menjelajah Bandung bagian selatan, untuk melacak arah menuju tempat yang manusia beri nama Ranca Upas. Ciri-ciri yang aku tahu dari tempat itu, di sana ada penangkaran rusa.

Lalu, ketika aku bertemu kumpulan rusa, tentu aku berasumsi telah berada di tujuan, namun ada banyak hal yang membuat aku curiga kalau aku belum mencapai tempat yang dimaksud. Aku tidak melihat hutan di sekitarnya, hanya kumpulan pohon besar di halaman kumpulan gedung yang kental sekali kesan tempat kerja manusia berupa kantor.

“Maaf, numpang tanya, apa tempat ini bernama Ranca Upas?” tanyaku pada seekor rusa jantan.

Saat itu aku bertengger di bingkai atas pagar kawat dan rusa itu sedang mencabuti rumput di lapangan yang cukup luas. Dia mendongak sambil mengunyah setelah aku tanya.

“Benar,” jawabnya, terdengar yakin, tapi aku malah semakin tidak yakin.

“Terima kasih,” ucapku. Lalu melompat ke pohon terdekat, dan melompat lagi ke pohon lainnya. Aku sempatkan membalikkan badan untuk melihat rusa itu lagi. Aku lihat rusa itu telah kembali memamah biak, tapi aku juga menemukan kebenaran kalau rusa itu benar-benar … sotoy!

Tidak jauh dari rusa itu, aku melihat rangkaian huruf berwarna-warni di luar pagar, membentuk kata Taman Uncal Sabilulungan—tidak ada bunyi kata Ranca ataupun Upas di sana.

“Sotoy!” pekikku pada rusa itu, entah dia mendengar atau bahkan peduli. Aku lanjutkan penjelajahan dengan hati dongkol.

Lihat selengkapnya