Aku terbangun dalam kelumun kabut putih.
Kabut putih itu kian menipis, hampir sirna namun tak pernah sirna. Memberi pemandangan yang layaknya mimpi, namun bukan mimpi. Aku merasa nyaman, merasa tenang, bahkan bisa dikatakan bahagia, namun …, semua itu terasa seperti kimiawi. Tidak nyata. Semu.
Ketika pandanganku bisa menembus tipis kabut itu, aku melihat kerumunan bidadari berjubah putih. Tentu saja bidadari-bidadari itu berbentuk manusia. Meski aku monyet, aku tidak bisa membayangkan makhluk surgawi bentuknya monyet. Entah mengapa. Bukan aku bersikap diskriminatif , tapi mungkin porsi hidupku lebih terpengaruhi manusia daripada monyet. Mungkin. Tetapi ….
Apakah aku sudah mati?
Aku ingat aku jatuh tertembak panah bius, tapi jika aku mati karena terjatuh, sepertinya mustahil. Jarak ketinggian yang kuingat mestinya tidak sanggup membunuhku. Kalau cedera mungkin saja.
Kulihat seorang bidadari berkacamata mendekatiku, menatap lekat. Aku lihat bagian depan jubahnya tersingkap, memperlihatkan kemeja warna khaki yang menggelembung di bagian dada. Warna khaki itu mengingatkan aku akan warna buah sawo.
Ah, buah sawo ….
Aku rindu manisnya ….
Tiba-tiba aku rasakan sensasi manis itu. Manis buah sawo. Meski hanya memikirkannya.
Inikah kekuatan surga?
Aku terpana sejenak, namun kemudian merasa heran saat melihat kening bidadari berkacamata itu mengernyit.
“Buah sawo?” ucapnya heran.
“Apa?”
Kulihat seorang rekan bidadarinya menghampiri. Sosok bidadari berkerudung. Melewati bahu bidadari berkacamata, dia melihatku, memperhatikanku saksama.
“Monyet ini mimpi makan buah sawo,” jawab bidadari berkacamata itu.
“Lihat level awareness-nya. Dia tidak sedang bermimpi,” ujar bidadari berkerudung.
“Eh, kok bisa?” Bidadari berkacamata tampak heran.
“Dia sepertinya menciptakan sensasi itu secara spontan,” jawab bidadari berkerudung.
“Maksudnya hanya mengambil data dari kenangan? Dalam keadaan sadar? Aku belum pernah melihat yang seperti ini.”
Bidadari berkerudung tidak menanggapi. Masih menatapku.
“Maksudku, aku belum pernah melihat monyet mengapresiasi rasa seperti ini. Bahkan definitif rasa buah sawo.”
“Hanya belum. Tidak berarti tidak ada,” komentar bidadari berkerudung. “Tapi ….”
“Tapi apa, Mba?” tanya si bidadari berkacamata saat rekannya malah terdiam.
“Aku curiga sesuatu. Tunggu. Rekam kode gen-nya di mana?”
“Oh, saya kirim ke mba.” Bidadari berkacamata itu memungut ponselnya dan mengoperasikannya, lalu disusul bunyi notifikasi dari saku jubah putih bidadari berkerudung.
Bidadari berkerudung itu merogoh ponsel dari sakunya.
“Oke. Aku cek di server arsip lab,” ujar bidadari berkerudung itu setelah melihat layar ponselnya. Kemudian dia beranjak pergi.
“Eh, aku ikut!” Si bidadari berkacamata hendak mengekor.
“Gak usah. Kamu awasi subjek. Dia baru sadar, `kan?”
“Ah, aku matikan dulu! Mumpung belum diapa-apain. Aku belum pernah ke ruang server arsip soalnya,” kata si berkacamata kembali menghadapi aku. Dia operasikan semacam konsol di dekatku.
Mendengar kata “matikan”, seketika aku merasakan gelagat yang tidak baik. Ada perasaan terancam. Ketika dia mulai mengoperasikan konsol di dekatku, aku rasakan getar aneh yang membuatku mendadak panik. Perasaan panik itu membuat kesadaranku blingsatan mencari cara untuk tidak menuruti perintah “mati” yang dimasukkan bidadari berkacamata itu.
Sebagai analogi, aku mungkin berpura-pura “pingsan”, menampakkan seolah aku “mati” bagi si bidadari berkacamata. Dan sepertinya aku berhasil karena dia meninggalkan konsol itu sementara aku masih melihatnya.
“Eh, Mba, apa aku perlu izin khusus untuk masuk sana?” ucap bidadari berkacamata kala menghampiri rekan bidadarinya. Dia menghilang dari pandanganku.
“Gak usah. Kita gak akan masuk, cuma di konsol resepsionis.”
“Yaaah,” ungkap si kacamata kecewa. Aku lihat dia mengimbangi langkah rekannya keluar ruangan.