Setidaknya aku telah aman dari para pemburu amatir itu. Meski nasibku selanjutnya aku tidak tahu. Tapi langkah selanjutnya aku tahu harus turun dari mobil pick-up itu.
Mobil itu melaju cukup lama dan cukup kencang. Aku tidak bisa gegabah melompat turun. Sempat melambat, tapi aku belum berani untuk mengangkat kepala terlalu tinggi dari tumpukan sayur itu. Aku belum bisa melihat situasi di sekitar mobil. Saat melambat, mobil aku pantau melewati semacam gapura, lalu menambah kecepatan hingga laju yang belum pernah aku alami. Sangat cepat!
Kalian boleh menduga kalau mobil tengah melewati jalan bebas hambatan, dan ketika mobil kembali melambat di gapura yang lain, aku ambil kesempatan itu. Aku melompat naik ke gapura itu, memanjatnya hingga atap gapura, kemudian melompat ke kabel telekomunikasi dan menelusurinya hingga tiang. Saat di tiang itu, aku melihat sekitarku dan merasa sedikitbterancam. Tempatku berada terlalu terbuka dan tidak ada tempat yang bisa menyembunyikan diriku.
Nekat, aku turun dari tiang, merangkak cepat di atas lahan gersang yang berujung tembok beton. Tembok beton itu berupa ruas-ruas yang diapit tiang beton. Melalui salah satu tiang beton, aku cengkram tiap sisi tiang dengan tangan dan kaki. Aku merapatkan badan ke tiang itu dan mulai memanjat. Cukup sulit karena kuasa jemariku terlalu kecil untuk mencengkram sekaligus menangani berat badanku. Tapi untunglah tembok beton itu tidak terlalu tinggi. Aku berhasil melewatinya sebelum jari-jari tangan dan kakiku kesakitan.
Di balik tembok itu, aku temukan pemukiman manusia dengan barisan rumah yang tertata, nyaris seragam. Komplek pemukiman yang terbilang mewah. Aku capai salah satu rumah dan menaiki atapnya, sekadar mencari ketinggian. Ketika aku lihat kumpulan hijau dari atap pepohonan, aku langsung tuju arah itu.
Atap hijau pepohonan yang aku lihat itu ternyata pohon-pohon yang berbaris mengiringi seruas jalan. Aku belum bisa mencapainya karena terhalang ruang terbuka dari halaman ruko yang berjejer sepanjang ruas jalan itu. Tapi kemudian aku berniat mencapainya melalui kabel listrik dari ujung atap salah satu ruko. Sebelum meniti kabel itu, sesuatu menarik perhatianku. Sebuah poster. Sebuah spanduk, baliho atau apapun itu. Terpampang di seberang jalan.
“Dilarang keras buang sampah di area ini kecuali monyet!”
Begitu tulisan yang tertera di sana, disertai gambar kera, bukan monyet.
Ya, di sinilah aku memulai cerita ini. Ingat?
Di bawah poster itu aku lihat sampah berserakan. Juga aku lihat kawanan anjing mengais-ngais sampah, mencari makanan. Aku pun berpikir, aku juga bisa mencari makan di sana. Namun ketika aku menghampiri, aku disambut geram anjing-anjing itu padahal belum terlalu dekat. Awalnya aku berniat berdiam diri, membiarkan geram mereka mereda sebelum bergerak mendekat, tapi urung kala ada manusia mendekat—atau mungkin monyet berbentuk manusia karena dia melempar sekantung sampah ke bawah peringatan dilarang membuang sampah kecuali monyet.
Sempat juga kehadiranku menarik perhatian beberapa pekerja ruko. Aku abaikan mereka sampai kulihat ada dari mereka yang mengeluarkan ponsel mereka. Aku segera pergi menjauh, sebelum aku tertangkap kamera ponsel mereja. Aku naiki tiang, susuri kabel menuju atap ruko. Lalu mencari kumpulan pepohonan.
Aku bermukim beberapa hari di komplek pemukiman itu, sebelum kudapatkan kembali daya juang untuk mengemban misiku mencari Opat. Sungguh aku menyimpan harapan mereka baik-baik saja.
Aku usahakan tidak terlalu menarik perhatian meski memang kehadiranku diketahui warga sana, namun selama aku tidak mengganggu, mereka sepertinya juga mengabaikan aku. Sesekali aku mendapatkan telunjuk anak-anak yang disertai celoteh, “Itu monyet!”
Ya, bisa dikatakan relatif aman. Tapi tetap aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus temukan letak Ranca Upas itu di mana. Aku tahu posisiku saat itu telah di selatan Bandung, tapi masih terlalu luas untuk dijelajahi seekor monyet.
"Andai ada petunjuk arah," gumamku kala itu, dan tidak terpikir untuk bertanya kepada siapapun, apalagi pada manusia.
Atau Ranca Upas itu fiksi? Hanya karangan rusa sombong itu?
“Kamu kayak lagi bingung. Kenapa?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu ketika sore hari aku memunguti jambu air yang jatuh dari dahan pohon yang menjorok ke jalan, dahan yang melewati pagar besi sebuah rumah. Pertanyaan itu datang dari sosok manusia yang duduk dan bersandar pada pagar besi itu. Seperti aku dia juga sedang memunguti jambu air dan memakannya. Aku terkejut karena tidak melihatnya, bahkan tidak merasakan kehadirannya.