Sungguh ini diluar rencana, pertemuanku dengannya. Maksudku dengan Erik, Iya! biar ku perkenalkan padamu seseorang yang bernama Erik Wijaya.
Kamu tidak asing dengan istilah cinta monyet? Atau kamu pernah punya cinta monyet? Pasti lah setiap orang punya atau paling tidak, ada orang yang disukai semasa SMA. Jadi sebenarnya Erik ini siapa? Dia adalah orang yang pernah menjadi bagian terindah di masa SMA ku, dia adalah alasan mengapa Aku ingin selalu cepat-cepat sampai ke sekolah, Dia adalah alasan aku sering keluar kelas izin ke toilet di jam pelajaran pada saat Dia lari dilapangan bersama teman-teman sekelasnya waktu pelajaran olahraga, Dia cinta monyet pertama aku di SMA, lebih tepatnya saat ini dia sudah hidup di masalaluku selama bertahun-tahun.
Pertemuan kemarin, tidak pernah ku duga setelah sekian tahun lulus dari SMA aku tidak pernah bertatap muka dengannya. Dia masih sama, tetap Erik yang aku kenal pemilik mata sipit yang selalu meneduhkan pandanganku, senyum khasnya yang selalu menyejukkan hatiku, genggaman tangannya yang selalu membuat aku merasa aman. Maksudnya waktu itu aku hanya berjabat tangan dan perasaan itu muncul dengan sendirinya, tapi aku tidak sedang jatuh cinta loh ya Aku hanya memaparkan segelintir rasa yang dulu pernah ada. Tidak berniat untuk memupuknya menjadi subur karena itu tak akan mungkin.
Tetapi, jujur saja saat mata kami bertemu sumpah demi apapun aku ingin waktu berhenti saat itu juga biar kurasakan keteduhan pandangan itu agak lama, segera ku hentikan secara paksa aktifitas khayalanku yang sungguh memalukan itu.
Agak canggung memang ketika berhadapan dengannya, tapi aku berusaha untuk menguasai diriku sendiri agar tak telihat kikuk apalagi salah tingkah di depannya. Ku perhatikan tingkah Erik juga sepertinya begitu, dia terlihat canggung ketika menatapku dan mengajakku bicara.
"Matamu kok sembab?" Tanyanya sambil menatapku tanpa kedip. Membuatku sedikit memundurkan wajahku karena aku merasa wajah kami agak dekat.
Aku mengusap mataku yang merah dan sembab dibalik kacamataku, bekas menangis karena siang sebelum bertemu dengan Erik, kabar duka datang dari sahabat akrabku dengan Alya. Fajar telah meninggal dunia hari itu yang mana aku dan Alya tak bisa mengantarkannya untuk terakhir kali karena baru saja sampai di Balikpapan. Hanya bisa mengirimkan doa saja untuk ketenangan sahabat kami itu, Fajar sudah tenang dan tak merasakan sakit jantung lagi. Aku jadi sedih lagi ketika mengingat itu. Mari kita panjatkan doa untuk sosok sahabat terbaikku itu, dia sangan baik dan humoris sulit dihilangkan kenangan kebersamaan kami dulu.
"Iya, aku habis menangis dan mungkin juga kelamaan pakai softlens." Jawabku, lalu aku kembali menatapnya. "Kamu ingat Fajar teman sekelasku?"