Brengsek, satu kata yang terus menerus terngiang diotak Keenan begitu cowok itu memilih pulang dan meninggalkan seorang diri gadis yang telah dia tolong tadi di emperan apotik. Ada perasaan tak tega tapi apa boleh buat Keenan tak mungkin menomor duakan perintah Mamanya. Itu sama saja menempatkan dirinya pada jurang masalah.
Dan untungnya beberapa menit sebelum Sintia menelepon hujan sudah reda. Jadi dia bisa pesan gojek yang lebih cepat dan bisa sampai depan rumahnya. Kalaupun dia pengen pesan gocar, mobil itu tak sampai depan rumahnya mengingat rumah Keenan berada di perumahan padat penduduk. Yang ada hanya gang sempit dan itupun hanya muat satu mobil.
Suara deritan terdengar kuat begitu Keenan membuka gerbang rumahnya. Cowok itu masuk lantas berhenti dalam hitungan detik saat melihat Sintia berdiri dengan angkuh didepan pintu sambil bersidekap dada. Di tatapnya lembut wajah sang Mama yang akan meledak saat itu juga. Tak ingin semakin memperkeruh keadaan Keenan memperlebar langkahnya dan mencium tangan Sintia---mati-matian Sintia menolak.
"Mama kenapa sih?" tanya Keenan sedikit jengkel.
"Masuk!" titah wanita cantik itu. Di usianya yang sudah memasuki kepala tiga, pancaran aura kecantikan Sintia sama sekali tak pernah pudar. Wanita karir yang berprofesi sebagai sekretaris itu tentu saja menomer satukan penampilan. Setiap weekend dia tak pernah absen untuk pergi kesalon---mempercantik diri atau sekedar hangout bersama teman kantornya. Keenan pun menyadari itu jika Mamanya jauh lebih perfect daripada wali murid teman-temannya---ketika menghadiri rapat beberapa bulan lalu.
Keenan menatap sekilas Sintia diiringi helaan napas lalu melangkah masuk dan berhenti di ruang tamu---membanting tubuhnya di sofa lumayan keras.
"Siapa cewek tadi?" tanya Sintia tanpa mengalihkan sorot mata tajamnya pada Keenan.
"Aku nggak tahu Ma," jawabnya jujur.
"Nggak tahu kata kamu Ken?"
Keenan yang awalnya enggan, kini mulai melihat Mamanya dengan tatapan malas. "Lagian Mama tahu dari mana?" semenjak Keenan mendapatkan panggilan dari Mamanya tadi. Isi otak cowok itu hanya ada satu pertanyaan 'Dari mana Mamanya bisa tahu?' Setahu Keenan setelah Sintia marah dan menurunkannya ditengah jalan, wanita itu langsung memacu mobilnya.
Gerak-gerik aneh Sintia tak lepas dari pandangan Keenan setelah mendapatkan pertanyaan itu. Wanita itu nampak terkejut tapi langsung menormalkan kembali kekagetannya "Itu nggak penting! Jawab dulu pertanyaan Mama tadi!"
Keenan mendesah pelan. "Keenan juga nggak tahu Ma, aku cuman bantuin dia abis jatuh, udah gitu doang," jawab Keenan mencoba tak terhanyut emosi bersama Mamanya.
"Terserah apa kata kamu Ken! Ingat kamu sekarang kelas 12. Mama nggak pernah ijinin kamu pacaran!!!"
"Lagian aku juga nggak pacaran, tadi Ken--"
Belum sempat Keenan menyelesaikan kalimatnya, suara dering ponsel milik Mamanya lebih dulu memotong pembicaraan. Tanpa berbicara lagi, Sintia melangkah menjauhinya. Keenan mengernyit ketika raut wajah Mamanya yang awalnya merah padam berubah drastis setelah melihat ponsel---entah Keenan tak tahu apa arti itu semua. Tapi yang pasti sudah hampir tiga bulan belakangan ini Keenan nyaris kehilangan sosok Mamanya---yang dulu.
Pertama, Sintia tak lagi menyiapkan sarapan untuk Keenan maupun Abi, Papa Keenan. Justru sekarang Mamanya merekrut pembantu baru tanpa ijin mereka berdua. Kedua, kebanyakan waktu Sintia dia habiskan di luar entah itu di kantor atau hanya sekedar hangout sampai larut malam. Belum juga pikiran itu sirna dari otaknya. Keenan langsung dikejutkan dengan penampilan Mamanya yang berbeda dari biasanya keluar dari kamarnya sambil menenteng tas mahal miliknya.
Keenan berdiri sambil mengamati penampilan Mamanya dari atas sampai bawah dengan kening berkerut. "Mama mau kemana?"
"Kerjalah, buruan kamu mandi dan belajar. Guru les kamu datang jam 8 nanti seperti biasa,"