Bella tidak mengerti, sangat tidak mengerti kenapa Keenan bisa tahu jika dia menangis. Karena yang Bella tahu setelah Keenan menarik tirai balkon lantas cowok itu pergi tapi kenapa Keenan bisa bertanya jika menangis. Bella menggeleng cepat, "Enggak, Bella nggak nangis kok,"
Bohong!
Keenan duduk menghadap Bella, menarik kedua jemari gadis itu untuk bertumpu pada pahanya, sesekali meremas lembut. "Aku tahu Bel,"
Masih dengan pendiriannya, Bella mencoba menyembuyikan apa yang telah terjadi. "Enggak apa-apa kok Ken,"
Bohong!
"Maaf ya--"
Secepat kilat Bella menarik tangan kanannya dari genggaman tangan Keenan. Dan telunjuknya dia letakkan di atas bibir Keenan. "Iya Bella tahu," potong gadis itu lebih dulu dan menarik tangannya lagi dari atas bibir Keenan.
"Udah ya?" Bella meminta persetujuan agar tidak membahas kejadian tadi sore lagi.
Keenan mengangguk.
"Wajahmu pucat? Kamu sakit?" tanya Keenan khawatir. Wajah pucat gadis itu terus menerus menghantuinya sejak pertemuan mereka tadi. Rasa khawatir dan curiga membuat perasaan Keenan tak menentu.
"Enggak, enggak kok. Kayak nggak tahu Bella aja sih. Emang kulit Bella kayak gini," Bella meringis menujukkan deretan gigi putihnya sambil tersenyum lembut.
"Mau nggak nonton, Bella punya film yang belum Bella tonton," tuturnya semringah.
"Genre apa?"
"Romance,"
Keenan menggeleng dan membuang muka pelan. "Enggak, lainnya aja,"
"Yah kok gitu," Bella memanyunkan bibirnya ke depan, merajuk.
Keenan tak lagi menjawab, dia alihkan pandangannya ke jam dinding yang tergantung di tembok. Jarum menujukkan angka 10 malam.
"Udah malam, sebaiknya kamu tidur," Keenan bangkit tanpa mengalihkan tatapannya pada manik mata hitam milik Bella.
"Enggak mau, masih mau sama kamu," di tahan dengan cepat salah satu tangan Keenan, menyuruh cowok itu untuk tetap menatap di ruang tamu bersamanya. Detik-detik bersama Keenan sangatlah berharga. Mungkin saja besok dia sudah tak lagi melihat wajah tampan di hadapannya ini. Jemari tangannya yang mengenggamnya lembut dan manik mata hitam yang menatapnya sayu.
"Bel?"
"Hmm,"
"Tidur!" tegasnya dingin.
Bella menelan susah payah salivanya, Bella merasakan perusahaan sikap Keenan jika cowok itu lebih dingin sekarang. "Enggak mau!"
"Ya udah di mana kamar aku?" Keenan melepaskan cekalan tangan Bella dengan cepat. Lihat bagaimana cowok itu memperlakukan bella sekarang. Bella mulai merasakan dadanya sesak. Hal yang di takutkan gadis itu perlahan akan terjadi, dan mau tak mau Bella harus merelakannya.
"Kamu mau tidur sekarang?" tanya gadis itu sambil berdiri mengenyahkan pikiran buruknya.
"Iya,"
"Ninggalin Bella sendirian gitu!" tanya Bella dengan nada tinggi.
"Udah malem, gak baik. Lagian aku capek Bel trus tangan aku sakit semua," sahutnya tanpa menatap Bella, kedua bola cowok itu memilih mengamati ruangan yang ada di rumah itu.
Menghembusakan napas pelan, "Maaf, ya udah deh aku anterin ke kamar kamu ayo," di tariknya lengan Keenan dan membawa cowok itu ke kamar tamu yang letaknya dekat dengan dapur.
"Di sini, kamu bisa pakek kamar tamu Ken,"
"Nggak pernah di pakek, tapi setiap hari mama bersihin kok," lanjutnya.
"Makasih,"
Bella hanya mengangguk, memutar tubuhnya hendak pergi dari sana. Tapi lengan gadis itu lebih dulu di cekal oleh Keenan.
"Kamu marah?" tanya cowok itu begitu merasakan perubahan sikap Bella--setelah kejadian tadi.
Bella menggeleng pelan. "Enggak,"