Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #1

Camar Perak

Ombak tinggi bergulung-gulung berkejaran menghantam batu karang, disertai tiupan angin laut yang kencang melambai-lambaikan pepohonan di sekeliling pulau itu. Sekelompok burung camar beterbangan mencari perlindungan di antara celah gugusan batu karang kokoh di atas tebing curam yang menjulang.

Badai akan datang. Tampak dari kejauhan langit menghitam, disertai kilatan-kilatan cahaya memecah angkasa. Dentuman petir yang menggelegar menenggelamkan suara teriakan burung-burung. Alam memberikan peringatan dini kepada seluruh makhluk penghuni pulau untuk segera mencari perlindungan yang aman.

Sepasang mata sayu sedang memandang ke arah luar dari sebuah jendela raksasa yang terbuka. Tirai-tirainya berayun-ayun ditiup angin kencang, seluruh ruangan itu menjadi riuh oleh desiran angin yang berhembus masuk memenuhi ruangan. 

Wanita itu menghela nafas panjang, “Badai akan datang kembali.”

Di belakang wanita itu, seorang gadis sedang menangkupkan kedua tangan di dadanya, “Huhh … dingin sekali,” seraya tubuhnya maju perlahan mendekat ke arah jendela.

“Bu, kita tutup jendelanya, ya? Angin sangat kencang,” pinta gadis muda itu yang kini berada di ambang jendela dalam posisi kedua tangannya tetap menyilang di dada. Rambutnya beterbangan di tiup angin kencang.

“Biarkan saja seperti itu, saya menikmatinya,” kata wanita yang duduk di kursi roda itu sambil menghirup udara dingin yang masuk berhembus memenuhi diafragmanya.

“Ini belum seberapa, dibandingkan dengan badai kehidupan yang telah kita alami.”

Gadis itu menuruti perkataan wanita itu dan melangkah mundur menjauh dari jendela. Ia menunduk. Wanita itu benar. Mereka telah melalui badai yang jauh lebih besar, dalam kehidupan nyata, dan mereka berhasil melaluinya. Gadis itu kembali maju bergabung bersamanya, menatap ke arah kejauhan saat gumpalan awan hitam disertai petir dan angin kencang dengan cepat berjalan mendekat menuju ke mereka yang duduk menghadapi alam, meresapi datangnya badai yang mulai menyerang menghantam keras pertahanan batu-batu karang yang membentengi sekeliling pulau itu.


Seminggu sebelumnya,

Sebuah kapal penyeberangan kecil bermuatan lima belas orang penumpang dengan tiga anggota kru serta satu pengemudi kapal mulai berjalan melambat saat akan berlabuh di dermaga sebuah pulau kecil, yang terletak di gugusan pulau karang yang membentuk sebuah kesatuan pulau-pulau yang saling berkaitan satu sama lain.

CAMAR PERAK. Demikian sebutan pulau itu. Burung-burung camar yang mendiami pulau itu berada di garis depan, yang memberikan penanda dan menjadi alarm atas setiap kejadian yang terjadi di pulau itu. Penduduk penghuni pulau itu sendiri hanya merupakan sekelompok masyarakat yang sebagian besar masih memiliki ikatan darah, di samping para pelayan atau pekerja yang melayani keluarga-keluarga yang berdiam di pulau itu, beserta para pegawai pemerintah yang bertugas pada fasilitas-fasilitas umum milik negara.

 Terdapat sebuah mercusuar tua di tepi pantai barat pulau itu, yang masih berfungsi dengan baik untuk memandu kapal yang akan masuk berlabuh, maupun menjadi penerangan di malam hari. Sepasang suami istri ditempatkan sebagai penjaga mercusuar itu.

Kapal penyeberangan berjalan melambat saat akan bersandar di dermaga, sontak burung-burung memandang curiga ke arah benda yang sedang bergerak di atas air menuju ke wilayah kekuasaan mereka. Manusia. Sekelompok manusia datang lagi ke tempat ini. Dalam satu komando, burung-burung itu beterbangan di angkasa membentuk formasi pertahanan dan mulai mendendangkan sebuah lagu peringatan menandakan pulau itu sedang kedatangan tamu dari luar.

“Sepertinya ada kapal yang bersandar Bu,” kata seorang gadis berbaju perawat yang mendampingi seorang wanita yang sedang duduk di kursi roda di halaman sebuah rumah yang berada di puncak. Perawat itu menyipitkan matanya berusaha untuk memfokuskan pandangannya ke arah kapal itu.

Meskipun jaraknya cukup jauh, namun dermaga dapat terlihat dari rumah itu, dikarenakan posisi rumah besar itu yang berdiri kokoh di ketinggian di atas tebing.

Wanita itu tersenyum, “Ya, ia sudah datang. Aku menunggunya.” Di tangannya memegang sepucuk surat yang diterimanya seminggu yang lalu.

“Tolong siapkan semuanya, Pak. Putriku telah datang,” katanya kepada seorang pria yang adalah kepala pengurus rumah itu, yang berdiri tidak jauh darinya.

Lihat selengkapnya