Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #3

Kemah Harapan

Keduanya masih berbaring beralaskan rumput hijau yang luas beratapkan langit hitam dan bintang-bintang, terbenam di alam pikiran masing-masing, meresapi sajian kenikmatan alam semesta yang tiada tara. Kemudian mereka tersentak oleh sebuah suara yang menegur.

“Selamat malam. Nona Wina?” sapa seorang pemuda ramah. Pemuda itu masih sangat muda, mungkin belum genap 20 tahun.

Gadis itu tersadar dari lamunannya, lalu segera duduk diikuti oleh pemuda di sampingnya.

“Ya, betul. Saya Wina, dan ini tunangan saya, Steve.”

“Saya Crisco, Nona. Ibu Maura menyuruh saya kemari untuk menjemput Nona dan Tuan."

"Panggil saya, Wina. Jangan terlalu formal begitu, mungkin saya hanya lebih tua sedikit dari kamu,” kata gadis itu.

“Saya juga panggil Steve saja, ya.” Tunangan gadis itu ikut berbicara.

“Baik Kak Wina dan Kak Steve. Mari kita ke kemah. Ibu sudah menunggu.”

Crisco membawa sebuah gerobak untuk membawa barang-barang bawaan mereka. Dalam hati Steve merasa begitu lega. Kedua tangannya mulai terasa sakit dan pegal setelah seharian bergumul dengan barang-barang itu. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke sebuah bangunan megah di hadapan mereka.

Bangunan itu terlihat seperti berasal dari abad sebelumnya, kira-kira merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Namun, kelihatan masih sangat kokoh dan diberikan sentuhan modern dengan tidak meninggalkan keasliannya dari segi arsitek dan nilai-nilai seninya, tampak pada pilar-pilar, pintu dan jendela bangunan itu terlihat jelas unik dan sangat artistik.

Ada dua bangunan lain yang terletak di sisi kiri dan kanan, berdiri simetris di samping bangunan utama yang berada tepat di tengah. Ada semacam jembatan yang menghubungkan ketiga bangunan tadi, yang letaknya tepat di lantai atas.

Tampak jelas kekaguman pada dua pasang bola mata yang sedang membelalak sambil menyaksikan bangunan yang kini berdiri tepat dihadapan mereka. Cahaya lampu terang benderang mengelilingi bangunan itu, meskipun di luar sana kegelapan menyelubungi.

“Win!” panggil Steve setengah berbisik. “Apa tidak salah rumah ini disebut kemah? Padahal kesannya jauh dari sebuah kemah. Ini istana.”

“Tentu saja ada alasannya, Steve. Mungkin saja pada awalnya tempat ini hanya sebuah kemah, dibangun perlahan-lahan hingga menjadi seperti sekarang ini.”

Steve mengangguk-angguk. “Ya, mungkin saja.” Dalam hatinya ia sangat penasaran dan bermaksud mengorek informasi yang lengkap tentang asal usul bangunan itu.

Pintu terbuka lebar. Seorang wanita kira-kira berusia belum genap setengah abad duduk di sebuah kursi roda di dorong oleh seorang perawat wanita yang masih muda, yang terlihat lincah dan lihai.

Wanita di kursi roda itu mengenakan pakaian terbaiknya untuk menyambut gadis yang telah lama dinantikannya, gadis yang teramat dirindukannya, yang dianggapnya sebagai putrinya sendiri. Sebuah gaun berwarna hijau lembut, dihiasi dengan beberapa butiran manik-manik yang disulam bermotifkan bunga di beberapa sisi gaun itu. Lehernya berkalungkan mutiara indah yang memancarkan sinar putih violet dengan kemilau yang sangat indah dipandang mata.

Meskipun demikian, semua keindahan itu tidak dapat mengalahkan keindahan yang terpancar dari pribadi seorang Maura Adams, yang telah menerangi kehidupan banyak orang. Rambut tipisnya dibiarkan tergerai, namun tetap tampak tertata dengan rapi. Sebuah senyum indah kini merekah di wajahnya.

Wina tak dapat menahan haru saat melihat sosok malaikatnya kini berada tepat di hadapannya. Ia maju menghampiri wanita itu dan duduk bersimpuh di hadapannya, seraya meraih kedua tangan yang pernah memeluk dan membelainya dengan penuh kasih sayang. Ia mencium dalam kedua tangan itu dan membenamkan kepalanya menangis di pangkuan Ibu terkasihnya.

Lihat selengkapnya