Wangi bunga tulip memenuhi penciuman gadis berambut ombak yang dibiarkan tergerai ditiup angin sepoi-sepoi. Ia menghirupnya dalam-dalam, terasa sejuk memenuhi rongga tubuhnya. Setiap tarikan nafas yang beraroma bunga sungguh dinikmati.
Dalam waktu yang tidak lama lagi ia akan berganti status menjadi Ny. Steve Hutomo. Ia telah melabuhkan hatinya pada pria pujaan hatinya itu. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Masih terasa ada yang kurang. Restu dari wanita itu. Wanita yang telah mengubah hidupnya. Ia butuh restu darinya. Ia bertekad untuk menemukannya. Kebahagiaannya tidak akan lengkap tanpa restu dan doa, bahkan kehadiran wanita itu menyaksikan hari bahagianya. Hal itu akan sangat berarti bagi Wina.
Steve, yang sedang berdiri di sampingnya, merasakan hal itu. Ia tahu bahwa gadis tercantiknya sedang bersedih. Auranya sedang suram.
"Win, ayolah. Ceritakan kepadaku. Masih ada hal yang mengganjal di hatimu kan?" tebak Steve.
Wina menoleh. Ia menatap dalam mata Steve. Ia tidak bisa menutupi keresahan di hatinya. Wina mengangguk pelan. "Masih ada sesuatu yang ingin kulakukan sebelum pernikahan kita, Steve."
"Katakan! Kalau saja aku bisa membantu."
"Aku ingin pulang ke Indonesia, untuk sementara waktu. Aku ingin mencarinya. Ibuku. Maura Adams."
"Berapa lama kamu akan di sana? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Bukankah kamu baru saja diterima di perusahaan media itu?" tanya Steve.
"Sampai aku menemukannya. Setelah aku bertemu dengannya, aku akan segera kembali. Jangan kuatir, kita akan menikah sesuai waktu yang telah direncanakan. Mengenai pekerjaan, seharusnya tidak ada masalah. Aku hanya jurnalis lepas di perusahaan itu. Waktu dan tempat kerjaku fleksibel, dari mana pun aku bisa melakukan pekerjaanku. Tentu saja, aku akan berkoordinasi dengan atasanku dahulu."
"Aku akan menemanimu ke Indonesia. Namun, mungkin tidak akan lama, kira-kira hanya sampai akhir bulan ini saja, setelahnya aku harus kembali. Bagaimana?"
"Terima kasih, Steve. Itu sudah sangat cukup. Aku sangat menghargainya," kata Wina sambil menggenggam tangan tunangannya lalu memeluk tubuhnya erat.
"Yes! Pertama-tama kita harus menyusun rencana dan membuat strategi pencarian. Tidakkah ini akan seru?" Seketika Steve bersemangat.
"Ah, kamu ini. Ini hal yang serius, Steve. Bukan hal yang mudah, mungkin saja tidak membuahkan hasil." Wina tertunduk.
"Jangan pesimis. Pasti ada jalannya."
Burung besi raksasa itu bersiap untuk melakukan pendaratan di Bandar Udara Soekarno Hatta. Wina memandang keluar ke arah jendela. Betapa ia merindukan tanah airnya. Kenangan demi kenangan mulai memenuhi benaknya. Dalam hatinya ia berdoa. Semoga Tuhan mengabulkan keinginannya untuk bertemu Ibu terkasihnya. Semoga kesempatan itu masih ada. "Walaupun hingga ke ujung dunia, aku akan mencarinya."
Mereka check in di sebuah hotel kecil tidak jauh dari Bandara, karena saat itu sudah hampir malam. Walaupun kecil dan sederhana, hotel itu nyaman dan bersih. Mereka mengambil dua kamar yang berdampingan.
Rencananya malam ini mereka akan menyusun rencana pencarian, dan esok hari barulah mereka pergi dan tinggal di rumah orang tua Steve. Mereka belum memberitahukan kepada orang tua Steve perihal kedatangan mereka ke tanah air. Mereka tidak ingin ada penyambutan yang berlebihan dari keluarga Steve.
Wina belum dilamar melalui sebuah acara lamaran yang resmi oleh kedua orang tua dan keluarga Steve. Namun, mereka sudah pernah membicarakannya bersama lewat video call.
Sebenarnya orang tua Steve sudah sangat ingin segera bertemu secara langsung dengan Wina, calon menantu mereka. Namun, Wina ingin kedua calon mertuanya itu meminangnya kepada ibunya, Maura. Hal ini yang memberinya dorongan yang kuat untuk segera menemukan ibunya itu.
Malam harinya di kafe hotel itu, Wina dan Steve mulai menyusun rencana.
"Kita harus mulai dari rumah sakit tempat Ibu Maura pernah dirawat. Kita akan mencari perawat itu. Kamu tidak memiliki nomor kontaknya?" Steve memulai pembicaraan.
Wina menggelengkan kepala. Dalam hatinya ia menyesal mengapa mereka tidak ada yang memikirkan untuk mengambil nomor kontak perawat itu.
"Sayangnya, tidak ada. Tapi ide bagus kita akan kembali menemui perawat itu. Mungkin saja ada hal detail yang belum diungkapkan sebelumnya."
"Baiklah. Aku harus mencatatnya." Steve mulai menuliskan langkah pertama mereka pada buku catatan sakunya.
Hari masih pagi-pagi benar saat mereka sudah berada di lobby rumah sakit.
"Permisi, Perawat Nelly masuk hari ini?" tanya Wina kepada salah seorang staf yang duduk di meja resepsionist.
"Oh, Suster Nelly. Ya, hari ini dia shift pagi sebentar jam 8. Sebentar lagi datang. Silahkan duduk menunggu," kata gadis itu mempersilahkan mereka duduk di bangku lobby.
"Terima kasih."
Suasana rumah sakit itu mulai ramai. Satu per satu pasien datang, memencet tombol antrian dan duduk mengantri. Loket pendaftaran akan segera dibuka. Para staf administrasi pendaftaran sedang bersiap-siap.
Wina dan Steve mulai tampak gelisah menunggu kedatangan perawat itu. Namun seketika senyum mereka mengembang kala yang dinanti-nantikan akhirnya datang.