Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #8

Bekas Luka yang Tak Terlihat

“Tok! Tok! Tok ...!“ Samar terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Kedua pelupuk mata Wina terasa berat terbuka. Saat matanya berhasil terbuka, ia seolah-olah melihat angkasa, sejenak ia berpikir. “Aku ada di mana?”

“Ah, tenyata aku di sini, di rumah ibuku.” Rasa kantuknya belum hilang. Dengan rasa penasaran ia menengadah kembali ke atas ke langit-langit kamar, lalu tersenyum. Langit-langit itu memang tersusun dari potongan-potongan gambar yang menyerupai angkasa. Semalam ia kurang memperhatikannya, mungkin karena lampunya dibiarkan menyala. Seharusnya dipadamkan, agar gemerlap angkasa itu tampak.

Terdengar ketukan pintu sekali lagi. “Ya? Siapa? Tunggu sebentar!” sambil berjalan serasa melayang ia membuka pintu.

“Pagi, Kak Wina. Di bawah sudah tersedia sarapan. Mau turun ke bawah atau saya antarkan ke kamar?”

“Di bawah saja. Sebentar saya turun.”

“Baik.” Anak muda itu mengangguk dan segera berlalu.

“Crisco?”

“Ya, Kak.” Crisco berbalik.

“Apa semua orang sudah berkumpul di bawah?”

“Kak Steve belum turun, saya sudah memanggilnya juga.”

“Baiklah, saya akan segera ke sana.”

Wina duduk dan memanjatkan doa bersyukur atas hari baru yang Tuhan berikan. Bersyukur karena ia telah dipertemukan dengan ibunya kembali. Ia juga berserah kepada Tuhan, memohon pimpinan dan penyertaan Tuhan di sepanjang hari ini.

 Setelah menutup doa, ia berdiri lalu menarik tirai jendela yang dari sejak kemarin menyita perhatiannya.

“Wah, sesuai dugaanku ternyata jendela ini sangat besar.” Ia menyingkap jendela itu lebar-lebar, sinar matahari pagi serta merta menerobos menembus masuk ke dalam kamar, membuat kamar itu menjadi terang benderang.

Seekor burung hinggap di tepi jendela, menyapa seolah-olah hendak mengucapkan selamat pagi, sambil berdendang riang, lalu terbang lagi ke angkasa.

Wina menghampiri sisi jendela dan menatap keluar. Pemandangan laut biru yang indah tersuguh dengan sempurna. Selama beberapa saat ia menikmati pemandangan itu, sampai-sampai ia lupa bahwa mereka telah menunggunya untuk sarapan bersama, sampai saat ia mendengar Steve berteriak memanggilnya dari arah bawah.

“Wina, ayo cepat turun!” Wina mencari arah suara itu.

“Hei!” Wina melambai. Steve beserta Maura dan Yuni, perawat Maura sudah berada di halaman. Di hadapan mereka terdapat sebuah meja yang di atasnya terhidang berbagai jenis makanan dan minuman untuk sarapan pagi.

Dengan gerakan yang cepat Wina mencuci muka dan menyikat gigi, lalu berpakaian dan turun bergabung bersama yang lain di bawah.

“Bapakmu ke mana Crisco? Sejak kemarin tidak terlihat,” tanya Maura. “Apakah dia sakit?”

“Bu Maura ... ," Crisco hendak mengatakan sesuatu, namun ia berhenti. Matanya seolah-olah ingin memberi isyarat.

“Oww," sejenak Maura terdiam. “Katakan, sebentar saya akan berbicara dengannya.”

Crisco mengangguk, “Baik, Bu. Akan saya sampaikan.”

“Bapaknya Crisco bekerja di sini ya, Bu?” tanya Steve.

“Iya, dia kepala staf di sini. Pengurus rumah ini. Kerjanya sangat efisien. Dia sangat membantu saya selama ini."

“Kita jadi jalan-jalan hari ini, Bu?” tanya Wina. Sejak kemarin ia sudah membayangkan akan mengelilingi tempat ini dan mengambil potret sebanyak mungkin. Pikirannya persis sama dengan apa yang dipikirkan Steve saat ini. Bahkan di alam pikiran, mereka selalu sehati.

Lihat selengkapnya