Pagi itu cerah ceria, matahari menyapa dengan hangat. Secerah hati dua sejoli yang sedang berjalan-jalan di menyusuri tepian pantai. Burung-burung camar terbang mendekat mengitari mereka berdua tanpa rasa takut lagi, sepertinya mereka telah menganggapnya sahabat, bukan ancaman.
“Steve, aku mau minta izin dari kamu untuk tinggal di sini sedikit lebih lama. Aku berencana untuk menuliskan kisah hidup Ibu.”
“Oh ya? Bagus itu. Apakah Ibumu menyetujui? Kalau saya sangat setuju, Win. Tapi ... minggu depan rencananya saya harus kembali. Kamu tidak apa-apa saya tinggal?”
“Aku di sini tidak sendirian, Steve. Aku bersama Ibuku, bersama keluargaku. Terima kasih banyak sudah mau menemaniku ke sini.”
“Kalau butuh bantuan, katakan saja kapan pun.”
Wina mengangguk. “Steve, kita kan sudah bertemu Ibu. Apakah Papi dan Mami punya waktu untuk datang kemari menemui Ibu?”
“Kami akan segera mengatur waktu. Mereka sudah terlalu sering menanyakannya, sudah panas telingaku ini ditelepon terus. Malahan mereka sudah merencanakan akan menggelar pesta pertunangan. Kalau dari aku sih, lebih baik pertunangan kita dibuat sederhana saja, hanya keluarga inti saja. Nanti saja kalau acara pernikahannya, mau dibuat meriah aku oke-oke saja. Bagaimana pendapat kamu, Win? Pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?”
“Kalau aku sih, kalau untuk pertunangan aku setuju, Steve. Cukup keluarga inti kita saja. Mungkin bisa juga digelar sekaligus di acara lamaran nanti, di pulau ini. Bagaimana?”
“Ya ... aku janji akan beritahu mereka. Semoga mereka setuju,” kata Steve.
“Kalau pernikahan, intinya ya di acara pemberkatan nikah. Saat kita nantinya dipersatukan di hadapan Tuhan. Kalau soal acara resepsinya, mau konsepnya bagaimana, aku ikut saja, Steve. Mungkin kita perlu dengar juga pendapat orang tua dan keluarga kita, kita hormatilah keinginan mereka seperti apa."
“Baiklah. Sebentar aku akan menghubungi mereka.”
Kini sepasang kekasih itu saling berhadapan dan bergandengan tangan. “Rasanya sudah tidak sabar menanti saat itu. Saat kita dipersatukan dalam kasih Tuhan, dan hanya maut yang bisa memisahkan kita,” kata Steve.
Mereka saling melemparkan senyum satu sama lain, di bawah sinar mentari pagi, hati mereka menyatu dalam cinta penuh ketulusan.
Dari kejauhan, di atas sebuah perahu penyeberangan, tampak sesosok wajah yang sedang tersenyum di antara sukacita dan kepedihan.
“Wina sayang, semoga kamu bahagia, Nak. Walaupun tanpa kehadiranku dalam hidupmu.”
Seminggu berlalu, Steve telah kembali ke tempat tugasnya. Wina menghabiskan banyak waktu dengan Maura. Keduanya menikmati kebersamaan mereka layaknya ibu dan anak.
Sore itu, Maura dan Wina telah duduk bersama di sebuah taman di samping rumah, dengan langit dan lautan biru sebagai latarnya. Angin berhembus pelan menambah suasana sejuk saat keduanya telah siap untuk melakukan pembicaraan serius. Wina meletakkan laptopnya di sebuah meja kecil di hadapannya, sambil menyetel handphonenya di sampingnya, bersiap untuk mengambil rekaman suara.
“Ibu siap? Kita mulai sekarang.”
“Ya, Baiklah.”
***
Suara instrumen saxophone berpadu dengan iringan piano terdengar merdu di telinga, mengiringi seorang wanita mengenakan mini dress berkilauan dengan suara emasnya melantunkan lagu-lagu yang menghanyutkan jiwa. Para pengunjung sebuah bar yang terletak di pojok jalan itu tampak terlena oleh pertunjukan musik tersebut.
Seorang gadis blasteran bertubuh tinggi semampai dengan hidung yang mancung dan rambut coklat tua yang dibiarkan tergerai panjang duduk sendirian di pojok ruangan dengan penerangan yang minim. Ia sedang menikmati segelas vodka di tangannya, dan masih ada sebotol lagi tersedia di meja di hadapannya. Lagu “La vie en rose” yang didendangkan wanita itu dalam versi bahasa Inggris, mengingatkannya pada seseorang, sosok yang sangat dikasihinya yang kini telah bahagia di surga bersama Sang Pencipta.
Gadis itu adalah DIRIKU. Aku berada di kota ini bukanlah sebuah kebetulan. Pada awalnya aku datang dengan suatu keyakinan untuk memenuhi panggilan dari hati. Namun, seiring berjalannya waktu, panggilan itu seakan menjauh dariku.
Sudah setahun aku berada di kota ini, aku bahkan belum menemukan titik terang apa yang harus aku lakukan. Kemana aku harus pergi? Apakah aku belum cukup berusaha? Aku datang dengan kesiapan yang matang, untuk memenuhi panggilan itu. Namun saat ini, panggilan itu nyaris meredup, menyisahkan keputusasaan yang membuat kini aku berada di tempat ini, berhadapan dengan sebotol minuman keras.