Akhirnya, seluruh rangkaian acara penghiburan selesai dilaksanakan. Satu per satu kerabatku mulai meninggalkan pulau ini dan kembali ke tempat tinggal mereka masing. Rumah ini kembali terasa sunyi. Yang tinggal hanya Mama, Papa, Kak Gustaf, Kak William, dan diriku. Meily, isteri Kak William juga telah kembali bersama putranya yang akan segera bersekolah kembali.
Sebulan kini sejak kepergian Alvin untuk selamanya, aku hanya menghabiskan waktu di ranjang meratapi nasib yang seakan tidak berpihak padaku. Diriku hancur sehancur-hancurnya. Rasanya begitu sakit, hingga meremukkan seluruh tulang-tulangku, tak ada kekuatan lagi. Lemak-lemak dengan cepat pergi meninggalkan tubuhku menyisahkan tulang berbungkus kulit. Kecantikan segera berlalu, yang tinggal hanya topeng tanpa wajah.
Hatiku hancur hingga menjadi debu, tanpa harapan untuk menyatu lagi. Aku marah dan kecewa kepada Tuhan, yang membelokkan harapan dan mimpiku, kepada lautan yang telah merampas cintaku, kepada hidupku yang kini bertemankan derita, bahkan kepada diriku sendiri.
Tatapan dari orang tua dan kedua saudaraku tercinta yang penuh rasa kesedihan dan kekhawatiran terhadapku, melihat kondisiku saat ini. Mereka kini berdiri mengelilingiku, menangisiku, seakan telah kehilangan putri dan adik mereka untuk selamanya. Tubuhku masih terbaring di sini, namun jiwaku seolah pergi mencari kedamaian.
“Sayang... kuatlah, Nak. Mama rindu anak Mama kembali.” Mama mendekat dan duduk di ranjang lalu memeluk tubuhku. Aku diam tak bergeming dan hanya memandang kosong ke depan, kesadaranku seakan hilang bersama luka yang tak terobati.
“Maura, kakak berdua akan kembali besok. Kamu yang kuat sayang?” Gustaf berkata sambil menggenggam kedua tanganku. Karena aku tidak menunjukkan reaksi apapun, ia hanya mundur dan kembali menangis, lalu keluar dari kamar diikuti oleh William yang hanya bisa memandangku dengan pandangan sedih.
Namun, seketika William berbalik lalu memelukku erat. Ia terisak hingga air matanya membasahi pakaianku.
“Maura, jangan membuat kami semua cemas. Adikku yang kukenal adalah perempuan yang kuat. Percaya sayang, kamu bisa melewati semua ini. Kamu akan menemukan kembali cintamu.” Ia lalu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kasih sayang.
“Jadilah Maura yang dulu, adik kami yang selalu percaya diri, penuh dengan cita-cita dan angan-angan setinggi bintang. Jangan menyerah. Tuhan mengasihimu. Pasti Dia akan memberikan yang terbaik untukmu.”
Malam itu, tinggal Papa dan Mama yang bersamaku. Papa yang sudah nampak lelah segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Mama sudah sejak tadi tertidur di sofa di samping ranjangku. Saat keadaan sunyi senyap, aku merasa seolah ada sesuatu yang memanggilku dari arah luar rumah. Aku bangun dan mencoba berdiri. Kakiku melangkah keluar dari kamar, menuruni tangga dan akhirnya sampai di depan pintu rumah. Aku membuka pintu itu dan keluar dengan kaki telanjang. Kegelapan seketika mengelilingiku, tubuhku dihantam oleh angin kencang yang bertiup dari lautan.
Seekor burung camar yang entah dari mana datangnya nampak berputar-putar mengelilingiku dengan gelisah lalu hinggap di pundakku. Malam itu gelap gulita, rembulan seakan memudarkan sinarnya, turut berduka atas peristiwa yang menimpaku. Angin dingin terasa menembus tubuhku hingga ke tulang, aku hanya mengenakan gaun tidur tipis. Tubuhku gemetar, namun tak menyurutkan langkahku menembus kegelapan malam untuk mengikuti suara yang seolah memanggilku dari arah lautan.
Kini mataku tertutup, pikiranku melayang seakan-akan aku berada di tempat yang lain, tanpa sadar kakiku terus melangkah mendekati tepian tebing karang yang menjulang langsung berbatasan dengan lautan jauh di bawah. Kesadaranku hilang, takkala kedua kaki itu terus melangkah tanpa kusadari, hingga akhirnya, aku tersentak.
Tubuhku melayang di udara, selama beberapa detik lamanya, dan ... byurrr!! Dengan satu hentakan keras, tubuhku menabrak permukaan air laut yang dingin, yang langsung menghisapku masuk hingga ke dasarnya.