“Ceritakan yang kamu alami!” dokter Lisa menepati perkataannya dan datang kembali menemuiku.
Aku menceritakan semua kejadian yang aku ingat tanpa ada yang kusembunyikan. Aku merasa dokter ini dapat dipercayai. Ia terlihat ramah dan bersahabat. Aku merasa senang bisa punya teman berbicara. Kami dalam sekejap menjadi akrab.
“Tapi, Maura. Ini hal yang serius, kamu harus melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib.”
“Ya aku tahu, Dokter. Tapi, semua kejadian ini, aku hanya ingin melupakannya. Aku selamat, itu sudah cukup. Aku juga tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya, hanya pada saat aku terbangun dan berada di kamar itu. Bahkan rumah tempat aku diculik, aku tidak dapat mengingat tempat itu lagi, lelaki itu juga. Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas, cahaya di dalam bar itu remang-remang.”
“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Melupakan peristiwa itu. Aku sudah melakukan hal bodoh dengan mabuk-mabukan, mempermalukan diriku, keluargaku. Sudah cukup aku membuat masalah untuk mereka. Seandainya Dokter tahu apa saja yang telah aku lalui.” Aku menghela nafas.
“Jadi, apa yang telah kamu alami?”
“Panjang kisahnya. Maukah Dokter berbincang denganku lagi?”
“Tentu saja, dan panggil aku Lisa. Namaku Melissa,” katanya sambil menggenggam tanganku.
Setiap hari Lisa menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang denganku, kami membicarakan banyak hal. Termasuk semua yang telah aku alami. Baru kali ini aku merasa nyaman berbicara dengan seseorang. Kami segera menjadi sahabat.
Beberapa hari berlalu, hari ini aku sudah diizinkan pulang. Kondisiku sudah benar-benar pulih secara fisik, namun masih menyisahkan rasa trauma. Aku masih sering mengingat kejadian itu. Aku berjanji tidak akan pernah menyentuh minuman keras lagi.
Aku menunggu William untuk menjemputku pulang. Sebelumnya ia meminta izin untuk pulang mengurus sesuatu. Aku menoleh ketika pintu itu terbuka, seketika masuk dua orang yang yang tak terduga.
“Papa? Mama? Bukankah kalian sedang berada di Jepang?” tanyaku menunjukkan mimik wajah heran bercampur was was. Sambil kedua mataku menatap tajam ke arah William, yang dengan sengaja memalingkan mukanya. Untung saja aku tidak memberitahunya tentang penculikan itu. Ia hanya tahu aku minum-minum dan saat pulang tak sadarkan diri.
“Bagaimana kami dapat tenang berlibur, sementara putri kesayangan kami terbaring di rumah sakit?”
“Maura tidak apa-apa kok Ma, Pa. Jangan berlebihan begitu khawatirnya. Kan sudah saya katakan lewat telepon.”
“Berlebihan bagaimana Maura? Putriku diculik. Untung saja kamu masih hidup. Papa sudah lapor polisi. Mereka sedang menyelidikinya. Apa saja yang kalian lakukan di sini? William! Kamu juga kenapa diam saja melihat kejadian yang menimpa adikmu?”
Aku benar-benar geram sekarang, kakakku itu benar-benar tidak bisa diajak kerjasama. Sebuah tas kecil di sampingku seketika kulemparkan ke arahnya.
“Kak! Kakak menguping ya pembicaraanku dengan dokter Lisa? Pake lapor ke Papa lagi!”
William menanggapi dengan acuh, ia hanya tersenyum sinis.
“Sudah ... sudah ...! Maura, kamu pulang sekarang!” tegas Papa.
“Ini aku juga memang sudah mau pulang, Pa.”
“Pulang ke pulau!”
“Tapi, Pa?”