Selama seminggu lamanya setiap malam aku berdoa meminta petunjuk dari Tuhan. Benarkah ini yang Ia kehendaki? Sekilas terbesit dalam benakku kejadian yang aku alami dua tahun yang lalu di dasar laut yang dalam. Aku masih bertanya-tanya, mengapa sepertinya hal itu belum terwujud? Apa sebenarnya rencana Tuhan dalam hidupku? Aku berserah dan menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada Tuhan dalam rencana-Nya. Mungkin saja, memang aku harus keluar dari tempat ini, bahkan dari negara ini, untuk menemukan jawabannya.
Dengan adanya kesempatan untuk bekerja di negara Ratu Elizabeth itu, ya aku akan mengambil kesempatan itu, kesempatan mungkin saja tidak datang dua kali, dan aku tidak ingin menyesalinya. Aku sudah membulatkan tekad. Ini yang harus kulakukan.
Pagi harinya aku kembali bersiap untuk menyeberang. Aku berjalan di dermaga hendak menuju kapal kecilku yang ditambatkan.
“Maura, mau ke kota?” seru Pak Toto.
“Ya, Pak. Seperti biasanya.”
“Oh ya, hati-hati ya. Sepertinya akan ada badai,” kata Pak Toto. Beberapa kapal batal berangkat hari ini.
Aku menengadah ke langit. Tampak langit mulai menghitam. Mengapa sejak tadi tidak kuperhatikan? Mungkin karena semangatku ingin segera sampai di kampus, untuk memberitahukan keputusanku ini kepada Om Hamdan.
“Hari ini ada hal penting yang harus kulakukan, Pak. Aku harus menyeberang ke kota,” kataku dengan tegas, tak ingin Pak Toto menghalangiku.
“Baiklah, hanya hati-hati saja. Saya akan berjaga-jaga, segera kirim kabar kalau ada sesuatu. Jangan lupa gunakan pelampung.”
“Ya, Pak. Jangan kuatir.”
Langit bahkan sudah tidak tampak biru saat itu, hitam gelap. Dengan terburu-buru aku menyalakan mesin dan segera berangkat.
Saat beberapa menit melintasi lautan, ombak besar bergulung-gulung mulai tampak dari arah depan, seolah-olah ingin menghantam kapal yang kukendarai, disertai angin kencang yang mulai menyeret kapal itu. Aku berpikir cepat, apa yang harus kulakukan? Air mataku mengalir kini, sambil berusaha tenang dan terus berdoa dalam hati. Kemudi kapal tak lagi bisa kukendalikan, aku tersentak dan terhempas. Semuanya terjadi dalam waktu sekejap. Seketika semuanya hilang.
Saat sadar, kudapati diriku berbaring telentang di lantai kapal yang kini terombang ambing di tengah lautan. Perlahan kubuka mataku, yang kutatap hanyalah birunya angkasa. Awan hitam itu telah berlalu. Badai telah berhenti, kurasakan tubuhku terayun-ayun bersama kapal yang bergoyang.
Aku mencoba bangun namun tubuhku tidak bisa bergerak. Aku hanya dia membeku. Tuhan tolong! Tubuhku bahkan tak kurasakan lagi. Aku terkapar tanpa bisa berbuat apa-apa. Entah berapa lama, pertolongan tak kunjung datang. Perlahan, mataku terkatup kembali dan aku kehilangan kesadaran lagi.
“Aduh ...!“ Seekor burung dengan paruh yang panjang mematuk wajahku. Aku terbangun. Aku menggerakkan tanganku dan mengusir burung itu. “Huss!! Sana!!”
Aku masih dalam posisi yang sama, terbaring di lantai kapal, namun yang tampak dalam pandanganku adalah langit berwarna jingga, sepertinya matahari akan terbenam. Berapa lama aku tak sadarkan diri? Yang terpenting aku selamat, dan tanganku sudah bisa digerakkan. Perlahan aku mencoba bangun. Puji Tuhan, badanku bisa bergerak. Rasa sakit segera menjalari sekujur tubuh, namun itu lebih baik daripada tidak merasakan apa-apa. Aku gemetar kedinginan, sekujur tubuhku basah.
Segera kusadari bahwa kapal ini tidak lagi bergoyang. Apakah ini daratan? Suara kicauan burung terdengar nyaring di telinga. Aku bangun dan mencoba melihat di sekitar. Seketika pandanganku disuguhi oleh onggokan karang-karang raksasa, hanya batu-batu karang dan pasir. Pulau ini seakan tak berpenghuni. Aku segera mengecek kondisi kapal. Semuanya berantakan, dengan beberapa bagian yang pecah. Mesinnya dan radio tidak menyala. Di sekelilingku hanya ada lautan sejauh mata memandang. “Aku terdampar di mana? Yang pasti jauh dari pulau Camar Perak, yang merupakan salah satu anggota gugusan pulau. Pulau ini tunggal tanpa bertetangga dengan pulau mana pun.
“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah semua yang kualami?” Aku mulai menangis dan meraung. Aku berteriak kepada Tuhan, dan hanya diriku sendiri beserta alam dan Tuhan yang mendengarnya.