Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #15

Sebuah Langkah Awal

Akhirnya aku kembali ke kota ini, ke kota gemerlap metropolitan. Kedua orang tuaku sudah tidak tinggal di kota ini lagi. Mereka memutuskan melepas perusahaan untuk dijalankan oleh kedua saudaraku dan memilih untuk menetap di negara asal Papa, Belanda, sambil membuka sebuah kedai kopi untuk mengisi aktivitas sehari-hari.

Apakah aku pernah menyebutkan sebelumnya bahwa Papa adalah seorang peracik kopi handal? Kopi buatannya belum ada yang mengalahkan hingga saat itu, setidaknya itu menurutku dan keluargaku. Hanya dalam beberapa bulan, kedai kopinya diserbu pelanggan, sehingga Papa semakin memperluas tempat usahanya itu dan akhirnya membuka cabang-cabang baru. Maksud hati ingin pensiun dan beristirahat, namun akhirnya semuanya dijalaninya dengan sukacita, karena kopi adalah dunianya.

 Bagaimana aku bisa kembali ke kota ini? Berikut kisahnya.

 Saat itu aku sedang hendak beristirahat setelah selesai menyantap makan siangku yang hanya berupa makanan kaleng di tepian pantai pulau tempatku terdampat, ketika dari kejauhan terlihat sebuah kapal penyelamat menuju ke pulau ini. Aku sontak berdiri dan melambai-lambaikan tangan.

“Maura? Akhirnya.” Pak Toto melompat dari kapal itu dan segera menghampiriku.

“Di sini!” teriaknya ke arah dua orang petugas medis yang dengan segera datang membawa tandu.

“Pak Toto? Senang sekali melihat Bapak. Terima kasih sudah datang menolongku.”

“Maaf Maura, kalau kami terlambat. Kamu tidak apa-apa?”

“Ya, Pak. Saya baik.”

“Ayo Maura, naik ke tandu.”

“Sudahlah, Pak. Tidak perlu, aku tidak apa-apa bisa jalan sendiri,” kataku. Namun seakan tetap tak menghiraukan, mereka memaksaku naik dan dengan tandu aku dibawa masuk ke dalam kapal penyelamat itu.

Baru kurasakan sekujur tubuhku sakit dan lelah. Saat akan diturunkan dari kapal penyelamat itu, aku tidak sanggup lagi berdiri. Akhirnya, tubuhku kembali berbaring di rumah sakit. Aku mengalami demam tinggi selama beberapa hari.

“Ya, Ma? Jangan kuatir Maura tidak apa-apa. Tidak ada yang luka, nih tubuh Maura masih mulus begini,” kataku saat Mama dan Papa menelepon.

“Tidak perlu datang, Ma. Ada Kak William di sini menemani,” sambil melirik ke sebelahku, kuakui William sangat perhatian kepadaku. Ia selalu dengan cepat mendapat kabar dan secepat kilat datang kemari. Padahal ia juga memiliki pekerjaan dan keluarga. Dalam hati aku tahu ia teramat menyayangiku.

Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang ke rumah. Saat berada di parkiran rumah sakit hendak naik ke mobil, tiba-tiba Om Hamdan dan Pak Marthin datang.

“Maura, kamu sudah baikan?” tanya Om Hamdan.

Aku mengangguk. “Ya, Om. Puji Tuhan. Aku selamat dan sehat kini,” jawabku sambil tersenyum dan mengangguk kepada Marthin. Pria itu hanya tersenyum.

“Sudah mau pulang? Kebetulan, Om juga mau ke pulau. Sama-sama ya? Mau tinggal beberapa hari di sana, ada beberapa urusan.”

“Dan Pak Marthin ...?” tanyaku.

“Oh, Tidak. Saya tidak ikut. Hanya mau melihat Bu Maura saja,” katanya. “Saya akan mengantar hanya sampai pelabuhan saja.”

Aku mengangguk. Kami berjalan beriringan dan naik ke mobil. Singgah di rumah Om Hamdan untuk mengambil barang-barangnya dan terus ke pelabuhan, lalu naik kapal penyeberangan menuju pulau Camar Perak.

             

“Jadi, Maura kamu sudah pikirkan baik-baik? Kamu melewatkan kesempatan emas,” kata Om Hamdan di suatu sore di halaman rumah saat kami berbicara mengenai pekerjaan di Universitas di Inggris yang ditawarkan tempo hari.

“Saya tahu, Om. Ini keputusan saya, dan saya yakin saya tidak salah mengambil keputusan ini.”

Lihat selengkapnya