Tahun sebelumnya,
“Ampun ... Ampun ... Pak!” Seorang gadis kecil dengan rambut bergelombang tengah berteriak kesakitan, kala sebuah cambuk rotan menghantam keras punggung kurusnya.
“Plak! Plak! Plak!” Seorang pria dengan terengah-engah mengerahkan segenap tenaganya mengayunkan cambuk itu, diikuti teriakan dan tangisan anak kecil yang kini punggungnya sudah bersimbah darah. “
“Ampun ...! Saya tidak akan lakukan lagi.”
Setelah puas melampiskan kemarahannya, pria itu keluar dari kamar itu dengan wajah penuh kekesalan.
Gadis kecil kini meringkuk menahan kesakitan yang teramat dalam dirasakan di tubuh terlebih lagi hatinya.
“Nasya? Apa yang terjadi, Nak?” Ibunya yang baru saja pulang begitu kaget melihat anaknya terbaring di lantai kamar dengan darah yang berceceran.
“Mama?" Tangisannya lirih segera disambut dengan pelukan dan tangisan penyesalan dari ibunya.
“Maafkan Mama, sayang. Mama tidak akan tinggalkan Nasya lagi.”
“Nasya mau pergi dari sini, kita keluar dari tempat ini, Ma.”
“Sabar, sayang. Suatu saat kita akan pergi dari sini. Tapi tidak sekarang, ya. Kita tidak punya tujuan lain.”
Gadis kecil itu kini berbaring telungkup seraya ibunya mengoleskan obat pada luka-luka bekas cambukan di punggungnya.
“Nasya melepaskan perempuan itu, Ma. Om Wolf sangat marah.”
“Sayang, memang yang dilakukan Om Wolf adalah kejahatan. Tapi, seharusnya Nasya tidak usah ikut campur, demi keselamatanmu, Nak.”
“Apa Mama tidak berniat keluar dari tempat ini?”
Ibunya menggeleng. “Tentu saja, sayang. Tapi Mama tidak berdaya. Lagipula, kita kita mau ke mana? Bagaimana kita akan hidup? Mama tidak mengenal dunia di luar sana, Mama dibawa kemari sejak masih sangat muda. Hanya dunia ini yang Mama kenal. Sabarlah, sayang, Nasya belajar yang baik, suatu saat Nasya pasti akan keluar dari tempat ini. Mama juga tidak ingin Nasya memiliki kehidupan seperti ini.”
“Tapi, Nasya kan tidak sekolah, teman-teman Nasya di sini juga ada yang tidak sekolah.”
“Yang penting saat ini kamu kan bisa membaca dan menulis, Mama akan ajari apa yang Mama tahu. Kamu juga bisa belajar dari televisi dan buku-buku yang Mama berikan."
“Maafkan Nasya, Ma, karena tidak mau ke sekolah lagi. Bukannya Nasya tidak ingin sekolah, Nasya tidak tahan mendengar ejekan dari teman-teman Nasya di sekolah tentang Mama. Tapi sebenarnya, Nasya masih ingin sekolah, Ma.”
“Ya, sayang. Kita akan cari jalan supaya Nasya bisa sekolah lagi.”
Setelah Nasya tertidur lelap, ibunya segera pergi ke rumah pria yang memukul Nasya. “Wolf, apa yang kamu lakukan pada putriku? Teganya kamu?” Wanita itu berteriak dan memukul-mukul dada pria yang kini ada di hadapannya.
“Sudahlah, Selina. Anak itu ikut campur urusanku. Aku rugi besar karena dia. Tidak bisakah kamu menjaganya dengan baik?”
“Aku kan kerja, aku menghasilkan uang untuk kamu juga. Jangan pernah menyentuh Nasya lagi ... aku peringatkan kamu!”
“Lalu ... apa yang bisa kamu lakukan heh? Kamu dan anak itu bergantung padaku.”