Di sebuah klinik swasta,
“Permisi, saya mau berobat,” kata seorang wanita didampingi seorang gadis kecil.
“Silahkan duduk dulu, Bu. Ini nomor antriannya.”
Salah seorang staf administrasi klinik memandang wanita itu dari atas hingga ke bawah. Ia segera berbisik kepada temannya yang memberikan nomor antrian tadi.
“Bu!” tiba-tiba wanita itu memanggil.
"Apakah Ibu berasal dari kawasan itu?” Tatapannya kini sinis, sambil menunjuk ke suatu arah.”
“Ya, Bu. Apakah ada masalah? Maaf, tapi saya hanya ingin berobat, Bu. Sudah sejak tahun yang lalu saya sering sakit.”
“Kenapa Ibu baru mau berobat sekarang?”
“Saya berusaha menahannya. Tapi, semakin hari tubuh saya semakin lemah, dan saya harus bisa tetap bekerja.”
“Itu namanya penyakit dicari sendiri. Maaf, sebaiknya Ibu ke rumah sakit saja langsung. Klinik kami tidak memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk pemeriksaan untuk penyakit seperti itu.”
“Saya hanya ingin bertemu dokter dulu, tolonglah Mbak!”
"Kami di sini juga mengutamakan kenyamanan pasien-pasien lain,” katanya sambil mengarahkan pandangan ke pasien-pasien yang sedang duduk mengantri yang sedang memperhatikan kami. Tatapan-tatapan itu seakan merendahkan.
“Ayolah, Ma.” Gadis kecil itu menarik lengan ibunya. Mereka akhirnya keluar dari tempat itu.
Ibunya tampak sudah sangat kelelahan, tubuh kecil Nasya berusaha memapah tubuh ibunya.
“Mengapa mereka menolak kita, Ma? Apakah kita begitu hina di mata mereka? Mengapa mereka memandang kita berbeda dari yang lainnya?”
"Nasya, kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti semuanya, Nak. Nasib telah membawa Mama ke lubang hitam ini. Dan kamu ... kamu harus keluar dari lubang ini, kamu bisa meraih masa depan yang lebih baik.”
“Nasya tidak mau meninggalkan Mama ....“
“Ya, sayang.” Wanita itu memeluk erat putrinya.
“Om Wolf! Om Wolf!” teriak Nasya menggedor-gedor pintu rumah pria itu.
“Aduh! Anak itu lagi, mau apa pagi-pagi ke sini.”
“Nasya? Ada apa?” tanya Om Wolf saat membuka pintu dengan kesal karena tidurnya dibangunkan.
“Mama tidak bangun, Om.” Nasya terisak. Ia dengan berat hati dan terpaksa menemui Wolf.
“Apa? Tidak bangun bagaimana?”
“Nasya sudah berusaha bangunkan, tapi Mama tidak bangun.”
“Masih bernafas?”
Nasya mengangguk. “Ya.”
“Ayo, kita lihat.”
“Selina ... Bangun ... Jangan pura-pura kamu.” Wolf mengguncang-guncangkan tubuh wanita itu.
Karena terus diguncang-guncang, perlahan wanita itu membuka matanya ....
“Nasya ...?” Ia terbatuk-batuk. Nasya segera menghampiri ibunya dan memberinya minum.
“Ada apa dengan kamu, sih?” Wolf kelihatan sangat kesal. “Lelaki kemarin komplain, Sel. Minta kembali bayarannya. Katanya kamu tidak melayaninya dengan baik.”
“Aku sakit, Wolf. Semalam aku benar-benar merasa lemah. Aku perlu ke rumah sakit.”
“Separah itukah? Kalau mau ke rumah sakit, pergi sana. Aku tidak punya waktu dan dana untuk itu. Penghasilan semakin menurun, ditambah lagi polisi beberapa kali ke tempat ini memeriksa, gara-gara anak ini.”
“Tapi, aku bekerja keras selama ini. Aku perlu uang untuk berobat, tolonglah pinjamkan dulu, nanti kamu bisa potong dari bayaranku.”
“Ya sudah, ini.” Katanya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan melemparnya begitu saja di hadapan Selina.
“Nanti Lula yang membawa kamu.”
"Tidak perlu, biar saya bersama Nasya saja.”
“Tidak! Kamu dan anak itu harus tetap diawasi!”
“Maura, aku berangkat kerja, ya. Bagaimana hasil pencarian kamu kemarin?”
“Sepertinya bukan di situ tempatnya. Aku sebenarnya tidak tahu pasti.”
“Hari ini aku akan cepat pulang. Siang nanti kita bisa coba cari lagi sama-sama. Bisa temui aku di rumah sakit? Kita sama-sama cari kembali dari awal lagi.”