Keesokan harinya, aku bersama Lisa kembali menemui Nasya dan Ibunya di rumah sakit.
“Selamat pagi, Bu. Bagaimana kondisi ibu?”
“Lebih baik, Mbak Maura.”
Wanita itu tampak lebih segar setelah mandi. Rambut ikalnya disisir dengan rapi. Kecantikannya terpancar kini, wajahnya mirip dengan putrinya, Nasya.
“Mbak Maura sudah pergi ke alamat yang saya berikan?”
“Belum, Bu. Masih belum sempat. Rencananya saya ingin melihat kondisi anak-anak yang tinggal di sana.”
Ibu Selina mengangguk. “Ibu seorang psikolog atau guru juga?”
“Dua-duanya sebenarnya. Dulu saya mengajar sebagai dosen, di kota kecil kami, jauh letaknya di sebuah pulau kecil.”
“Dan Mbak Maura meninggalkan pekerjaan itu dan pindah kemari? Maaf, kalau banyak bertanya.”
“Ya, Bu. Panjang ceritanya, tapi intinya untuk itulah saya kemari.”
“Oh, ya, Nasya mana, Bu?”
“Lagi mandi, Mbak,” katanya.
“Bu Selina, maaf boleh saya bertanya hal yang agak sensitif?”
“Tidak apa-apa, Mbak. Saya akan jawab sebisanya. Saya sudah pasrah dengan hidup saya, inilah hukuman Tuhan atas perbuatan saya. Kalau ada apapun yang bisa saya lakukan di sisa hidup saya, akan saya lakukan.”
“Ayah Nasya ...? Apakah Ibu sebelumnya menikah?”
Ia menggeleng. “Tidak, Mbak. Saya tidak pernah menikah. Nasya lahir tanpa direncanakan. Saya hamil saat usia 18 tahun, saat itu saya sudah bekerja sebagai pekerja seks di kawasan lokalisasi itu. Jujur saja saya tidak mengetahui pasti siapa ayahnya. Saya memang mencurigai seseorang, tapi ... saya tidak bisa memastikannya. Saat itu saya benar-benar depresi dan terpukul. Mucikari kami sangat marah karena keteledoran ini, saya dengan terpaksa tidak bekerja sampai melahirkan Nasya. Masa-masa sulit itu akhirnya berlalu juga, dengan kehadiran Nasya saya menjadi ceria kembali. Namun, ternyata tidak mudah membesarkannya di lingkungan seperti itu, kurang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.”
“Ibu tidak punya family lain?” tanyaku.
“Hanya keluarga jauh saja di kampung. Saat orang tua saya meninggal, saya datang ke kota ini bersama kenalan ayah saya, katanya akan diberikan pekerjaan di sebuah supermarket, tetapi ternyata saya dijebak. Saya tidak menduga akhirnya terdampar ke tempat ini.”
“Jadi, Nasya tidak bisa tinggal bersama keluarga Ibu di kampung Ibu?”
Wanita itu menggeleng. “Sepertinya hal itu tidak mungkin, Bu. Saya sudah putus komunikasi dengan keluarga, saya sudah cukup membuat mereka malu. Saya tidak bisa menyerahkan Nasya kepada mereka. Kalaupun saya paksakan, Nasya tidak akan mau. Sejak kecil, ia hanya bersama dengan saya.”
“Oh, iya bu saya mengerti. Maaf, tapi apakah dulu Ibu pernah melayani tamu asing? Saya perhatikan, Nasya dari ciri-ciri dan perawakannya sepertinya memiliki darah keturunan, di wajahnya terdapat bintik-bintik, matanya berwarna coklat terang, hidungnya juga mancung. Mungkin sudah beberapa generasi di atasnya, tapi tetap saja gen itu masih terlihat.”
“Saya juga menyadari itu, Mbak. Saya memang pernah melayani pria-pria warga negara asing, tetapi saya coba mengingat-ingat saat sebelum hamil, sepertinya di sekitaran waktu itu tidak ada pria asing.”
“Itu Nasya!” serunya saat Nasya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Ia menuju ke arah lemari untuk mengambil pakaiannya. Ia membelakangi saya. Sekilas saya melihat punggungnya, seperti bekas luka.
“Nasya?” Aku mendekatinya menyentuh punggungnya yang terbuka. Perlahan membuka handuk yang dikenakannya dari arah belakang. Anak itu diam saja, seolah-olah tahu apa yang hendak kulakukan.
“Ya Tuhan!” Kataku. Betapa terkejutnya diriku, melihat punggung anak itu penuh bekas luka, seperti ada yang sudah lama dan ada yang masih baru.
Selina tertunduk dan terisak.
“Mbak, tolonglah anak saya ... tolong dia, saya tahu saya tidak akan bertahan lama lagi, jangan biarkan dia menjadi seperti saya.“ Wanita itu semakin terisak.