Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #20

Kemah Belajar One in Harmony

Gadis kecil itu nampak ragu saat memasuki halaman rumah kami. Kepalanya menengok ke arah samping menatap kawasan lokalisasi tempat tinggalnya dahulu. Kedua matanya seolah menyiratkan sesuatu. Tempat itu penuh dengan kenangan baginya, dan hanya tempat itu yang ia kenal seumur hidupnya.

“Nasya? Ayo masuk, sayang.” Nasya tersadar dan mengikuti langkahku masuk ke halaman rumah.

"Ini rumah kita sekarang. Ayo Ibu antar ke kamar Nasya.”

Nasya memperhatikan sekeliling rumah itu dan berjalan masuk ke kamar yang kutunjukkan.

“Ini kamar Nasya. Nasya suka?”

Ia mengangguk. Dalam hatiku aku sangat bersyukur Lisa telah mengurus semuanya, menyulap kamar ini menjadi begitu indah.

“Tapi ...?” Ia menghentikan kalimatnya.

“Ya sayang, katakan saja, ada yang ingin Nasya ubah?” tanyaku. Seketika aku menyadari, Nasya penampilannya sedikit tomboy, apakah mungkin ia menyukai kamar yang serba pink ini?”

Ia menggeleng. “Kamar ini bagus. Terima kasih.”

“Nasya, kamu suka dengan cat warna pink ini?” Hati-hati aku bertanya. “Atau, kamu mau kamarmu di cat warna lain?”

“Bolehkah warna putih saja?” seketika ia bertanya.

“Baiklah, besok kita mengecat bersama ya?”

“Ya, Bu.” Mata anak itu berbinar, kini ia tersenyum, sangat manis, dengan sebuah lesung pipi. Baru kali ini aku melihatnya tersenyum.

Keesokan harinya, setelah pulang membimbing anak-anak dari sekolah, Nasya sudah siap dengan perlengkapan cat nya. Mobil mengantarkan pesanan cat itu tepat waktu. Seperti biasa, ia mengenakan topinya dan tangannya memegang sebuah kuas.

“Bu Maura! Nasya sudah siap. Ayo kita kerjakan Bu,” teriaknya sambil melompat-lompat.

Meskipun lelah, aku segera menuruti permintaannya. Tak kuduga Nasya bisa cepat pulih dari dukanya, dengan kesibukan kami, ia bisa sedikit terhibur.

Nasya nampak sangat girang saat kami memutar musik dan mengecat bersama. Aku memperhatikan anak itu. Di balik wajahnya yang sendu dan selalu tampak sedih, ternyata ia adalah anak yang ceria.

Akhirnya, bukan hanya kamar Nasya yang dicat putih, kini seluruh rumah sudah berubah menjadi warna putih. Kami mengerjakannya selama seminggu setiap aku pulang dari sekolah.

Ternyata, Nasya senang berolahraga. Halaman depan rumah kini jadi lapangan serbaguna, dapat digunakan untuk badminton, basket, bola kaki, dan olahraga lainnya. Teman-teman Nasya dari kawasan sebelah kini sering datang untuk bermain bersama Nasya di rumah ini.

 "Bu, Ibu tahu tidak. Waktu aku sekolah, aku juara lomba lari,” katanya pada suatu hari sambil terkekeh.

 “Oh ya? Pantas saja kamu selalu berlarian, ke mana-mana harus berlari,” kataku. “Nasya tidak rindu sekolah lagi, Nak?” aku bertanya dengan spontan.

Seketika ia terdiam dan menunduk. Lalu menggeleng.

Aku mendekatinya. “Ya, baiklah sayang. Tapi kamu tetap harus belajar. Mau Ibu ajar di rumah?”

Seketika senyumnya mengembang, seraya mengangguk. “Mau, Bu.”

“Ya sudah, untuk saat ini kamu sekolah di rumah saja, ya.”

“Bu, boleh tidak Nasya ajak teman-teman untuk belajar sama Nasya di sini. Nava, si Kembar Devi dan Dewi yang sering main ke sini juga tidak sekolah, dan masih ada beberapa teman Nasya yang lain juga tidak bersekolah. Nasya yakin mereka mau jika dipanggil belajar di sini.”

“Tentu saja, Nak. Kita akan ajak mereka.”

Aku terdiam dan merenung. Mengapa sebelumnya tidak terpikirkan olehku?

“Terima kasih Nasya, kamu membuka mata Ibu sekarang,” kataku seraya mendekapnya erat.

Malam hari itu aku banyak merenung. Aku mulai berpikir jauh ke depan. Dalam bayanganku, aku akan mendirikan sebuah pusat belajar. Di rumah ini, untuk anak-anak kurang beruntung dari tempat itu. Anak-anak itu berhak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Beberapa minggu telah berlalu, Lisa dan Hardy saat ini datang mengunjungi kami.

“Wolf dan Lula sudah tertangkap,” kata Hardy.

“Oh ya?” kataku menunjukkan keseriusan.

"Mereka akan segera menghadapi persidangan. Mudah-mudahan mendapatkan hukuman yang setimpal.”

Setelah kematian Selina, aku dan Lisa segera melaporkan Wolf ke Polisi. Polisi segera merespon laporan kami dan bertindak dengan hati-hati, karena ternyata selain terjerat pasal penganiayaan dan prostitusi anak, Wolf dan Lula juga terlibat dalam peredaran narkoba.

Kompleks lokalisasi itu masih tetap beroperasi sebagaimana mestinya. Wolf dan Lula hanya dua dari banyak orang germo yang menguasai area itu. Setidaknya untuk saat ini, langkah awal telah dilakukan.

       

Aku tengah berada di ruangan kepala sekolah SD Negeri tempat aku melakukan bimbingan kepada siswa-siswa khusus dari kawasan itu. Aku hendak membicarakan rencanaku untuk mengambil alih pendidikan anak-anak yang putus sekolah dari sekolah ini.

“Pak Sarwono, begini Pak. Mengenai anak-anak dari kawasan lokalisasi yang putus sekolah, saya berencana untuk mengumpulkan mereka semua dan mengajarinya di rumah. Mungkin awalnya semacam kelompok belajar saja. Bagaimana menurut Bapak? Bisakah saya mendapatkan nama-nama dan data mereka?”

“Bu Maura. Tentu saja, Bu. Kami sangat senang dengan rencana Ibu itu. Tapi, bagaimana dengan bimbingan yang Ibu lakukan di sekolah? Maksud saya, mengenai pengaturan jadwalnya.”

“Tentu saja sudah saya pikirkan, Pak. Untuk saat ini, saya rencananya akan mengajar mereka di sore hari.”

Lihat selengkapnya