Satu tahun berlalu, semuanya masih berjalan baik. Dua tahun berlalu, walaupun proses belajar mengajar masih berjalan dengan lancar, namun kini kami diperhadapkan pada sebuah kendala yang besar, KEUANGAN.
Aku berdiri di depan ATM, tabunganku sudah mulai menipis, semua kugunakan untuk pengembangan kelompok belajar ini. Fasilitas belajar mengajar kebanyakan merupakan sumbangan yang dikumpulkan oleh Lisa, Hardy dan Sonny, serta Pak Sarwono, dan aku sangat bersyukur atas dukungan mereka.
Aku berencana menyewa tempat yang lebih besar lagi, semakin hari jumlah anak-anak itu bertambah, kini bukan hanya dari kawasan lokalisasi. Seperti yang disarankan oleh Ketua RW, kami juga akhirnya menerima anak-anak kurang mampu dari lingkungan sekitar dalam didikan kami. Cukup banyak anak-anak yang datang. Belum lagi, mereka kadang menginap di tempat ini. Aku harus memberi mereka makan. Rumah ini seakan menjadi rumah bersama. Di kemah belajar ini, semuanya gratis tanpa dipungut biaya. Bahkan buku-buku dan fasilitas sekolah semuanya diberikan secara cuma-cuma.
Aku perlahan-lahan melepas membimbing anak-anak dari lokalisasi yang bersekolah di sekolah umum. Menurut Pak Sarwono, sudah ada guru BK yang ditempatkan di sekolah mereka. Aku tinggal menghadapi beberapa siswa yang mereka tidak sanggup tangani. Mereka sangat berterima kasih karena aku sudah memberikan waktu dan bimbingan secara sukarela untuk anak-anak itu. Aku tetap memberikan keluasan kepada anak-anak itu kapan saja mereka mau datang belajar dan butuh bimbingan, selagi ada waktu aku siap melayani dan membimbing mereka mereka.
Demikian pula untuk siswa SMP dan SMA. Hasil yang terlihat sangat baik, anak-anak itu menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Masa depan seakan terbuka jelas dalam pandangan mereka saat ini.
Kini waktuku bisa lebih banyak lagi untuk fokus mengurus kelompok belajar ini. Kami tetap melakukan pengurusan legalitas kelompok belajar ini, dengan tujuan untuk menjadikannya sebuah lembaga pendidikan informal di bawah naungan dinas pendidikan. Saat ini pengurusannya sudah hampir kelar. Kami telah membentuk Yayasan. Sementara ini hanya aku, Lisa, Hardy, Sonny beserta Pak Sarwono yang merupakan anggotanya untuk sementara. Dengan tenaga pengajar tetap yang membantuku saat ini adalah Marwah dan Elona, dibantu oleh beberapa pengajar profesional yang mengajar pelajaran-pelajaran khusus yang membutuhkan keahlian khusus. Untuk mereka, aku mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, karena aku tetap ingin anak-anak didikku tetap mendapatkan pendidikan yang terbaik dari ahlinya.
Kelompok belajar kami berkembang menjadi Pusat Belajar One in Harmony. Aku menerapkan pendidikan informal dengan sistem belajar yang mirip homeschooling, namun dalam kelas komunitas atau kelompok, dan dilakukan terpusat di tempat ini, bukan di rumah masing-masing. Ini didasarkan karena situasi dan kondisi mereka tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya proses belajar mengajar yang formal seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Meskipun metode belajarnya privat atau hanya kelompok kecil, namun di tempat ini semuanya gratis, tidak dipungut biaya apa pun, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan.
Seiring waktu berlalu, murid-murid terus bertambah, rumah sewa ini tidak mampu lagi menampung mereka semua. Dalam kurun waktu dua tahun, jumlah siswa melonjak dari 17 orang pada awal terbentuknya, kini menjadi 40 orang, yang sebagian besar terdiri dari anak-anak dari kawasan lokalisasi, dan juga anak-anak kurang mampu dari sekitar tempat itu. Bagi anak yang menginap, terpaksa mereka tidur berdesak-desakan.
Tempat ini tidak lagi cukup untuk menampung mereka semua. Kelas kami tetaplah kelas outdoor di halaman belakang, namun, kadang jika cuaca tidak bersahabat, maka kami terpaksa berdesakan belajar di dalam ruangan, dengan pembagian kelompok belajar ada yang pagi hari dan ada yang sore hari. Aku tetap menginginkan anak-anak itu datang setiap hari untuk belajar dari Senin-Jumat. Di samping beberapa remaja yang bekerja dan harus menyesuaikan waktu untuk diajar secara privat. Aku selalu berusaha untuk berada di tempat, kapan saja anak-anak itu membutuhkanku.
Kini aku sampai pada suatu titik, dimana pengeluaran yang begitu banyak sementara pemasukan nihil. Seluruh milikku telah kukorbankan. Pendapatanku selama ini adalah dari perusahaan peninggalan Opa yang dikelola oleh pamanku, juga dari perusahaan Papa yang dijalankan oleh kedua orang kakakku.
Kami tidak memiliki donatur tetap, namun kami sudah berembuk untuk segera mencarinya. Kami yakin ada orang-orang yang tergerak untuk pelayanan anak-anak ini.
Aku ingin anak-anak ini mendapatkan pendidikan yang terbaik, tidak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkan. Namun, sampai pada tingkat ini, masalah biaya menjadi kebutuhan yang mendasar.
Aku kembali menemui Lisa di apartemennya untuk membicarakan masalah ini. Begitu aku sampai di depan pintu apartemennya, Lisa terlebih dahulu membuka pintu dan menarikku masuk.
“Maura, ada hal yang penting mau aku sampaikan.” Wajah Lisa terlihat berseri-seri.
“Ada apa Lisa? kelihatannya berita baik. Tuh, wajahmu berseri.”
“Coba tebak, aku akan menikah dengan Clay.”
“Benarkah? Puji Tuhan, aku ikut senang, Lisa,” kataku dengan bahagia. Aku memeluk sahabatku itu. “Selamat, Lisa. Akhirnya di antara kita ada yang menikah.” Aku turut bahagia.
“Jadi, kapan rencananya? Dan di mana?”
“Bulan depan, di Australia. Kamu datang ya?”
“Pasti,” kataku. “Semoga tidak ada halangan.”
“Tapi, Maura ... “ Lisa mencoba menjelaskan. “Aku akan pindah ke sana. Aku sudah resign dari rumah sakit tempat aku bekerja. Aku akan ikut Clay untuk tinggal di Australia.”
“Oh, memang seharusnya seperti itu.”
“Aku memikirkan kamu dan pusat belajar yang kita rintis bersama. Aku minta maaf jika tidak bisa bersama-sama lagi mengurus pusat belajar itu. Tapi aku akan selalu mendukungmu dari jauh.”