Waktu bergulir begitu cepat. Sepuluh tahun kini sejak berdirinya Pusat Belajar One in Harmony. Terjadi suatu hal yang besar, yaitu penutupan kawasan lokalisasi di tempat itu oleh pemerintah setempat. Tempat itu semakin tergusur oleh tekanan dari masyarakat sekitar maupun dari pemerintah setempat, karena semakin meresahkan warga oleh keberadaannya di tengah-tengah pemukiman penduduk. Para germo yang terbukti melakukan pelanggaran dan tindakan kriminal, segera ditindak oleh petugas. Tentu saja kabar ini adalah kabar baik.
Beberapa pekerja seks di lokalisasi itu mencoba mencari tempat yang lain, mereka kini tersebar ke berbagai lokasi. Namun ada juga yang akhirnya beralih pekerjaan, ada yang pulang ke kampung halaman, namun sebagian besarnya tetap menjalankan praktek prostitusi secara sembunyi-sembunyi, atau pindah ke tempat yang lain.
Anak-anak yang tinggal di asrama menjadi meningkat, karena orang tua mereka terpaksa pindah dan banyak yang menitipkan anak-anaknya ke pusat belajar kami. Pada dasarnya mereka sadar akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Mereka tetap ingin anak-anak mereka nantinya memiliki pekerjaaan yang halal dan masa depan yang lebih baik.
Pusat belajar One in Harmony terus berkembang dengan menampung anak-anak tidak mampu bukan hanya yang berada di sekitar tempat itu, namun juga ada yang berasal dari tempat yang jauh. Meskipun pada awalnya adalah sebagai sarana pendidikan untuk anak-anak pekerja seks yang tinggal di lokalisasi, namun kemudian merambah untuk menjangkau secara lebih luas lagi untuk anak-anak yang kurang mampu dan mau mengikuti pembelajaran informal melalui Pusat Belajar One in Harmony.
Aku masih sendiri, tanpa pendamping hidup. Kakakku William kembali menetap di Bandung bersama keluarganya, dan hari ini Winasya akan menamatkan pendidikan sederajat SMA dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Anak itu sangat cerdas dan tekun belajar, aku bangga padanya. Kini aku mulai merasa ditinggalkan sendirian.
Aku mengantarnya ke airport. Dengan penuh deraian air mata, kami saling mengucapkan perpisahan.
“Ibu, bisakah Ibu memanggilku Wina? Nasya yang dulu penuh kepahitan hidup telah kukuburkan. Aku bukan lagi anak yang hidup di dalam kegelapan, aku kini sedang dalam perjalanan meraih cita-citaku. Doakan Wina, Ibu.”
“Tentu saja, Wina. Anakku. Belajarlah yang sungguh-sungguh. Buatlah kedua ibumu bangga, sayang.”
Seminggu setelah kepergian Wina ke Belanda, aku mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil.
Aku sangat berduka. Jenazah keduanya dikuburkan di sebuah kota kecil di Belanda, aku segera terbang ke sana.
"Mama, Papa, mengapa kalian begitu cepat meninggalkanku?" Hatiku terasa begitu sakit. "Aku akan selalu merindukan kalian, kalian orang tua terbaik, betapa aku bersyukur terlahir sebagai anak Mama dan Papa." Derai air mataku mengalir deras di pusara kedua orang tuaku.
Aku berusaha untuk tegar dan kuat, ditengah kerapuhanku saat ini. Di tanganku masih ada tugas yang harus kuemban. Aku tidak boleh menjadi lemah.
Aku hanya menelepon Wina namun tidak sempat mengunjunginya, di samping kami berada di kota yang berbeda, aku juga harus segera pulang ke Indonesia.
Pembacaan surat wasiat dilakukan seminggu setelah penguburan. Pada dasarnya kami menerima semuanya dengan lapang dada. Kami tidak pernah mempersoalkan pembagian warisan, Mama dan Papa telah memberikan yang terbaik bagi kami anak-anaknya.
Rumah dan semua harta yang ada di pulau kini menjadi milikku, itu langsung diwariskan oleh Opa, sesuai yang ada dalam wasiat Opa. Gustaf dan William menerimanya tanpa sanggahan, mereka turut bahagia karena tentu saja mereka dapat datang dan tinggal kapan saja di rumah itu. Harta dan warisan dari kedua orang tuaku dibagikan secara adil kepada kami bertiga, termasuk perusahaan Papa dan Mama.
Waktu kembali berjalan dan kini telah dua belas tahun sejak pusat belajar ini berdiri. Tidak mudah menjalani semua ini. Seluruh tenaga, pikiran, dan perasaan kucurahkan sepenuhnya untuk pekerjaan pelayanan ini. Banyak tantangan dan kesulitan, namun selalu ada jalan keluar, Tuhan selalu menyertai perjalanan kami bersama dengan pusat belajar ini.
Aku duduk dan merenungkan semua yang telah kulalui. Pikiranku kini terbawa kembali ke suatu tempat yang selalu kurindukan. Pulau Camar Perak.
Sudah beberapa kali Om Desmond, pamanku yang adalah saudara sepupu Mama, menghubungi aku dan memintaku untuk berkunjung ke pulau. Rumah peninggalan Opa yang diwariskan kepadaku saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Sudah sejak lama ditinggalkan tanpa ada yang menempati, terlebih setelah kedua orangtuaku pindah ke Belanda.
Om Desmond sudah tidak muda lagi, ia nampak kewalahan mengurus semuanya. Sementara perusahaan peninggalan Opa juga dibebankan kepadanya untuk mengelolahnya. Putra Om Desmond hanya dua orang yang setelah tamat SMA segera pergi merantau.