Keep Your Lamp Burning

risma silalahi
Chapter #23

Pulau Sejuta Kenangan

Pagi itu masih pukul 06.00 pagi, saat aku membuka jendela kamar hendak menghirup udara segar. Perhatianku tertuju ke arah halaman yang sudah tersapu bersih, tidak ada daun-daun berserakan. Siapa yang membersihkannya? Petugas kebersihan biasanya datang jam 8 pagi.

Aku mengambil jaket dan berjalan keluar.

“Selamat Pagi, Bu Maura.” Pak Agung menyapaku pagi itu saat aku berjalan di halaman.

“Pak Agung? Jadi Bapak yang membersihkan semua ini?”

“Ya Bu, ini tugasku kan? Atau ada lagi yang perlu kukerjakan?”

Aku terkesima seketika. “Wah ... ini sudah sangat bersih, Pak. Mari, kita sarapan bersama di dalam dengan anak-anak.”

Pak Agung menggeleng. “Aku tidak berani bertemu anak-anak itu.”

“Mereka bukan anak-anak yang dulu lagi, Pak. Puji Tuhan mereka sudah selesai sekolah, ada yang lanjut kuliah dan ada yang bekerja.”

“Saya makan di dapur saja, Bu.”

“Oh, kalau begitu ayo duduk sini, Pak. Kita ngobrol sebentar,” kataku memanggilnya duduk di sebuah bangku melingkar tepat di bawah pohon yang rindang.

Dengan ragu, Pak Agung duduk di sampingku.

"Sebenarnya, bukan di sini saya ingin mempekerjakan Pak Agung. Kota ini punya kenangan yang kelam untuk Pak Agung kan?”

“Ya, Bu.“ Pandangan Pak Agung seakan melayang terbawa ke masa lalu. “Betapa saya telah menyia-nyiakan masa muda saya. Jadi di mana saya akan bekerja, Bu?”

“Di kampung halaman saya, Pak. Di Pulau Camar Perak.”

 

Kapal yang kami tumpangi kini sudah siap mendarat di pulau ini, pulau yang sangat kucintai. Pulau dengan sejuta kenangan.

“Jadi ini tempatnya, Bu?” Pak Agung memandang berkeliling dengan kagum.

“Ya, Pak. Ke mana pun saya pergi, tempat ini selalu dirindukan.”

“Terima kasih, Bu. Telah membawa saya ke tempat indah ini. Saya janji Bu Maura tidak akan menyesal telah menolong saya.”

“Ya, buktikan saja, Pak.”

             

Kami telah sampai di halaman rumah. Halaman yang semula tampak lapang dengan hamparan rumput yang luas, bunga-bunga indah bermekaran, kini bagaikan hutan belantara. Kami berdua menatap sedih. Rumah semegah itu kini terlihat seperti sebuah rumah tua suram tak berpenghuni. Kemah Harapan, demikian rumah ini dinamai oleh Opa. Aku bertekad untuk menyelamatkan rumah ini.

Para pekerja yang dulu bekerja di rumah itu telah kembali ke rumah masing-masing atau mengambil pekerjaan yang lain. Om Desmond sudah berulang-ulang kali memintaku untuk datang kemari, dia begitu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk memperhatikan rumah ini. Hanya menyuruh orang-orang untuk datang membersihkan namun sepertinya mereka bekerja kurang maksimal. Tentu saja, rumah ini butuh perawatan. Harus ada yang tinggal menetap di sini, dan satu-satunya kandidat yang datang tepat waktu pada saat dibutuhkan, hanya Pak Agung.

“Tenang saja, Bu Maura. Saya akan mengurusnya. Rumah ini akan berseri kembali.”

“Pak Agung tidak sendirian, saya akan mempekerjakan beberapa pekerja yang akan membantu Pak Agung, dan akan tinggal di sini bersama Pak Agung. Namun, tanggung jawab rumah ini sepenuhnya saya serahkan kepada Pak Agung.”

Lihat selengkapnya