Akhirnya selama sebulan kemudian, pembenahan rumah telah benar-benar rampung. Aku menatap puas rumah itu kembali. Rumah yang menyimpan banyak kenangan, pahit dan manis bersama orang-orang tercinta.
Kami mengadakan Ibadah Syukur dengan memanggil jemaat beserta keluarga, bersyukur bersama karena Kemah Harapan telah terbangun kembali. Selanjutnya aku menyelesaikan beberapa urusan dengan Om Desmond perihal bisnis Opa yang saat ini dijalankan oleh Om Desmond. Puji Tuhan semuanya berjalan dengan baik.
“Pak Agung, saya sangat puas dengan pekerjaan yang baik selama ini. Saya akan kembali ke pekerjaan saya, namun sebelumnya sesuai janji saya, saya akan menemani Pak Agung untuk ke desa itu menemui putra Bapak, tentu saja jika Pak Agung berkenan.”
“Terima kasih, Bu Maura. Ibu selalu memikirkan hal-hal yang bahkan tidak terjangkau oleh pikiran saya.”
Malam harinya, Pak Agung tidak bisa tidur, sambil membayangkan pertemuan dirinya dengan Erika dan putranya. Bagaimana jika mereka menolak kehadirannya? Kemungkinannya memang seperti itu, apalagi kini mereka telah memiliki keluarga sendiri. Pak Agung tidak bermaksud untuk mengganggu keluarga Erika, ia hanya ingin melihat putranya. Kalau dihitung-hitung usianya, anak itu sekarang sudah remaja.
Saat ia hendak memejamkan mata, sebuah pertanyaan lain kembali muncul di benaknya. Kali ini tentang sebuah kehidupan yang lain, yang tentu saja berkaitan dengannya. Pertanyaan yang sudah sejak lama dipendamnya, namun tidak pernah menemukan jawaban.
Kami akhirnya berhasil sampai ke desa itu, sebuah desa kecil di tanah Jawa. Desa itu terletak di pegunungan, letaknya cukup terpencil, jauh dari keramaian kota. Udaranya dingin. Kami singgah ke sebuah kedai makan, selain untuk mengisi lambung yang kosong, juga bermaksud untuk menanyakan alamat.
“Erika Sasono?” Putri Almarhum Pak Wahyu Sasono?” tanya ibu penjaga warung makan itu.
“Ya, Bu. Erika.”
“Maaf, Anda berdua dari mana? Dan apa hubungannya dengan Erika?”
“Kami dari luar desa ini, dari tempat yang jauh. Kami kawan lamanya.”
“Oh, pantas saja. Mungkin kalian belum mendengar beritanya.”
“Berita apa, Bu?” Pak Agung spontan bertanya.
“Erika telah lama meninggal, sekitar lima tahun yang lalu. Ayah Erika, Pak Wahyu juga telah meninggal, lebih dahulu dari Erika. Ibunya Erika telah kembali ke kampung halamannya, desanya cukup jauh dari sini. Dan Crisco, anak itu kini tinggal hanya berdua bersama ayahnya, namanya Pak Heru. Rumahnya tidak jauh dari sini.” Ibu itu berusaha menjelaskan. Kemudian ia terdiam dan wajahnya menegang.
“Ada apa, Bu?”
“Maaf, tapi apakah kalian mengenal suami Erika? Ayah Crisco?”
Kami menggeleng. “Kami kawan Erika sebelum dia menikah. Kami tidak mengenal suaminya.” kata Pak Agung.
“Dia seorang pemabuk, kasar, dan pemarah. Kasihan Crisco.”
“Apakah pria itu menyakiti Crisco?” Pak Agung seketika bertanya menuntut.
Ibu itu mengangguk. “Sering, Pak. Kami warga desa sini sangat iba pada anak itu. Tapi, kami juga tidak tahu harus berbuat apa.”
“Kurang ajar pria itu! Dia menyakiti anakku.” Wajah Pak Agung memerah menahan amarah.
“Maksud Bapak apa? Bukankah pria itu ayahnya?”
“Ceritanya panjang, Bu,” kataku pada ibu itu. “Terima kasih atas informasinya, Bu. Kami akan ke rumahnya sekarang. Bisa tunjukkan kami rumahnya?”
Ibu itu memanggil anaknya lalu menyuruh mengantarkan kami.
Bau minuman keras tercium menyengat ketika kami mengetuk pintu rumah itu, rumahnya tidak terurus, seakan tidak berpenghuni.
“Siapa di luar?” teriak seorang pria ketika kami mengetuk pintu rumah. Pintu itu terbuka dan kami berhadapan dengan seorang pria yang di tangannya memegang sebotol minuman keras.
“Dia mabuk,” bisikku pada Pak Agung.
“Ayo, masuk saja, Bu.” Pak Agung langsung membuka pintu.
“Mana Crisco?” Pak Agung bertanya dengan nada emosi.
Pria itu menyipitkan matanya, berusaha melihat tamunya yang kini sedang berdiri di hadapannya.
“Siapa kalian? Anak nakal itu pergi bermain.”
“Maaf, Pak. Besok kami kembali lagi ke sini untuk bicara. Saat Bapak tidak sedang mabuk,” kataku menarik tangan Pak Agung.
“Aku masih sadar, katakan apa mau kalian?”